Senin, 20 April 2009

Kisah

As Syibli dan Junaid

Abu Bakr ibnu Dulaf ibnu Jahdar ('asy-Syibli'), dan Abul Qasim al-Junaid, si 'Merak Kaum Terpelajar', adalah dua guru Sufi awal. Mereka berdua hidup dan mengajar lebih dari seribu tahun yang lalu. Kisah tentang masa belajar asy-Syibli di bawah al-Junaid, diberikan di sini, diambil dari The Revelation of the Veiled, salah satu dari buku-buku penting dalam bidangnya.

Al-Junaid sendiri memperoleh spiritualitasnya melalui pengaruh Ibrahim ibnu Adham ('Ibnu Adhem' dalam puisi Leigh Hunt), ia sebagaimana Budha, adalah seorang pangeran yang turun tahta mengikuti tarekat (Jalan), dan meninggal pada abad kedelapan.
Asy-Syibli, anggota istana yang angkuh, pergi ke al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, "Aku dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah padaku."



Al-Junaid berkata, "Aku tidak dapat menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara."
"Apa yang harus kulakukan?" tanya asy-Syibli.
"Pergilah dan jadilah penjual belerang."

Setahun berlalu, al-Junaid berkata padanya, "Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan jadi apa pun selain mengemis." Asy-Syibli menghabiskan satu tahun mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke al-Junaid, dan sang Guru berkata kepadanya:

"Bagi ummat manusia, kau sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka." Ia pergi, menemukan mereka semua kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan mereka.

Sekembalinya asy-Syibli, al-Junaid berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai pagi berikutnya.

Ia diterima sebagai murid. Setahun sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa menjadi orang paling rendah dari seluruh makhluk. Ia menggunakan ilustrasi perbedaan antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan mengatakan hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas.

Suatu hari, karena bicaranya tidak jelas, ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat. Dia berkata:

Bagi pikiranmu, aku gila.
Bagi pikiranku, engkau semua bijak.
Maka aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku
Dan meningkatkan kebijakanmu
'Kegilaanku' dari kekuatan Cinta;
Kebijakanmu dari kekuatan ketidaksadaran.


Kekasih

Seseorang menuju pintu Sang Kekasih dan mengetuknya.
Sebuah suara bertanya, "Siapa di sana?'
Ia menjawab, "Aku."
Suara tersebut berkata, "Tidak ada kamar di sini untukku dan engkau."
Pintu pun tertutup.
Setelah setahun terasing dan menyendiri, ia kembali ke pintu Sang Kekasih.
Dia mengetuk. Suara dari dalam bertanya, "Siapa di sana?"
Orang itu menjawab, "Ini Engkau."
Pintu pun terbuka untuknya.
(Ar-Rumi)


Berdoa untuk Diri Sendiri

Sa'ad bin Waqqash adalah sahabat Nabi saw. Di masa-masa terakhirnya ia menjadi buta dan tinggal di Mekkah, di mana ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang meminta berkahnya. Ia tidak memberkati siapa pun, kecuali mereka yang menemukan jalannya diperlancar.
Abdullah'bin Sa'ad mengisahkan:

"Aku pergi menemuinya, dan ia baik padaku serta memberkatiku. Karena aku hanya seorang anak yang ingin tahu, aku bertanya kepadanya, 'Doamu untuk orang lain tampaknya selalu dikabulkan. Lantas mengapa Anda tidak berdoa agar kebutaanmu disembuhkan?'

Orang tersebut menjawab, 'Tunduk pada Kehendak Allah jauh lebih baik daripada kesenangan pribadi karena dapat melihat'."


Doa Sa'di

Berikan untukku apa yang layak menurut-Mu,
Dan bukan apa yang layak menurutku.

(Sa'di: Gulistan)




Tidak ada komentar: