Dimuat 19 Agustus 2007 Metro Singkawang
Grup Tanjidor Musika, Satu yang Tersisa
)* Usia Trombone-nya Lebih dari se-Abad
Kesenian tanjidor saat ini dipandang tak se-keren nge-band. Tak heran, penampilan tanjidor kian jarang kita saksikan. Namun, ketika Upacara Detik-detik Proklamasi HUT ke-62 RI di Halaman Kantor Wali Kota, kemarin, kesenian ini kembali muncul dan memberikan nuansa yang khas. Pemainnya rata-rata sudah berumur.
Catatan Uray Ronald, Singkawang
Mereka dari Grup Tanjidor Musika asal Semelagi Kecil Kecamatan Singkawang Utara. Grup tanjidor ini dikontrak pemkot khusus untuk memeriahkan acara-acara khusus dan hari-hari besar. Selain itu, mereka juga melayani permintaan untuk memeriahkan acara-acara pernikahan dan lain-lain. Grup Musika merupakan salah satu dari sedikit grup yang tetap eksis di tengah himpitan arus modernisasi.
Berdasarkan Kamus Ensiklopedia Indonesia yang diterbitkan Ichtiar Baru-Van Hoeve tahun 1984, disebutkan, tanjidor berasal dari bahasa Portugis tangedor yakni kelompok musik berdawai. Tanjidor adalah kesenian yang dipengaruhi Bangsa Eropa. Jadi, bukan hal mengejutkan jika alat-alat musik yang dimainkan adalah alat musik yang berasal dari Barat seperti piston, trombon, klarinet, tenor drum, bass drum, snar drum, biola, dan ringbells. Kesenian tanjidor biasanya dimainkan pada perkawinan saat mengiringi rombongan pria menuju ke rumah pengantin wanita.
“Setahu saya, grup tanjidor di Singkawang hanya ada tiga, satu di Sedau, satu di Sekip dan satu lagi di Semelagi Kecil (Musika),” kata Hendri, Ketua Grup Tanjidor Musika, usai upacara. Grup Musika memiliki belasan personil. Keterampilan bermain musik mereka warisi secara turun-temurun. Begitu pula dengan alat-alat musiknya. Sebagian merupakan hibah dari wali kota terdahulu, ketika Kota Singkawang masih merupakan Kota Administratif yaitu Uray Roekijat.
Alat-alat musik tersebut antara lain berupa terompet, bas genderang, tenor, bariton, trombone dan lain-lain. “Ada beberapa yang dulunya merupakan milik grup marching band Kota Singkawang,” ujar pria yang berusia 41 tahun itu. Malah, ada alat musik mereka yang berusia lebih dari seratus tahun. “Kami punya trombone buatan Paris tahun 1900,” katanya.
Sampai sekarang, alat tersebut masih terus dipakai. Persoalan keterbatasan alat ini memang menjadi salah satu kendala mereka dalam mengembangkan dan melestarikan kesenian tanjidor. Di sisi lain, masalah regenerasi juga menjadi pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan. Minat para generasi muda terhadap kesenian ini agak berkurang. Hingar bingar musik elektronik atau band agaknya lebih menarik bagi generasi muda zaman sekarang.
Hendri sendiri sudah bermain tanjidor sejak dua puluh tahun lalu. Sementara Grup Musika lahir sejak tahun enampuluhan. Minimnya regenerasi menyebabkan sebagian besar personilnya sudah tak muda lagi. “Kami harapkan ada bantuan alat dari pemerintah karena alat-alat kami umumnya sudah tua. Untuk masalah regenerasi, sekarang sedang kami upayakan,” ujar ayah dua anak itu.
Salah satu faktor penyebab minimnya regenerasi, kata Hendri, adalah karena faktor ekonomi. Kesenian ini sulit jika dijadikan satu-satunya mata pencaharian. “Orang lebih senang bekerja ke Malaysia daripada belajar main tanjidor,” kata pria yang juga berprofesi sebagai petani itu. Akankah tanjidor hilang ditelan zaman? Biarlah waktu yang akan menjawabnya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar