Dimuat Pontianak Post, 16 Januari 2005
Dibalik Tsunami, Pengumpul Barang Bekas Banjir Rezeki
AGEN pengumpul barang bekas di Kampung Keutapang Banda Aceh merasa kewalahan. Pasca bencana, jumlah barang bekas alias rongsokan yang dijual kepada mereka meningkat tajam, bahkan ada yang peningkatannya sampai 40 kali lipat. Rupiah pun mengalir deras ke dalam kantong mereka.
Laporan Uray Ronald Banda Aceh
Pengungsi korban gempa dan tsunami di Banda Aceh tentu saja masih merasa sedih, stress dan trauma. Umumnya telah kehilangan keluarga dan harta benda. Untuk makan di pengungsian, biasanya mereka hanya diberikan nasi plus mi instan, kadang-kadang ikan asin. Pakaian bekas memang banyak mereka terima, namun kebutuhan-kebutuhan lain yang juga masih banyak, belum tercukupi.
Karena itu, mereka perlu pengalih perhatian sekaligus "rupiah". Tragedi di pekan terakhir tahun lalu itu kini menyisakan bergunung-gunung barang rongsokan di sekitar Banda Aceh. Pada pandangan pengungsi, barang-barang rongsokan ini adalah pilihan terbaik. Selain bisa dijadikan uang, pekerjaan mengumpulkan barang bekas dapat membuat mereka asyik dan lupa akan kesedihannya.
Sementara, di pandangan pengumpul, ini adalah peluang bisnis yang potensial. M Natsir bin Ahmad (30) asal Sigli, baru membuka usahanya ini seminggu yang lalu. Karena itu tadi, ada gula ada semut. "Di samping mendapat uang, kita juga bisa membantu para pengungsi," katanya pada Pontianak Post sambil menimbang rongsokan panci, kompor, dandang dan lainnya yang telah dikemas dalam karung.
"Maklumlah, mereka kan banyak yang merokok, tapi di pengungsian tidak ada yang nyediakan rokok. Dengan mengumpulkan barang bekas, mereka bisa dapat sekadar uang rokok," jelasnya. Natsir hanya menerima tiga macam barang yaitu yang terbuat dari alumnium, tembaga dan besi putih. Tapi, sebagian besar barang yang dijual pengungsi adalah yang terbuat dari aluminium. Barang bekas ini dibelinya seharga Rp6.000 per kilo.
Barang-barang ini dijualnya lagi kepada penampung dari Medan yang langsung "jemput bola" ke tokonya. Aluminium akan segera didaur ulang di sana. Per kilo, dijualnya seharga Rp9000. Barang-barang ini diangkut menggunakan dump-truck. Berarti, satu kilo dia untung lumayan besar, tiga ribu rupiah. Sedangkan jumlah barang yang ditampungnya dalam sehari, bisa mencapai 1,5 ton. Karena itu, paling sedikit dia harus menyiapkan modal sebesar sembilan juta rupiah untuk menebusnya.
Pengungsi yang datang dan membawa barang juga sangat banyak, Natsir kewalahan melayaninya. Dia lalu merekrut 12 orang setempat untuk membantunya. Berkah di balik tsunami juga dirasakan Nur Halimah (33) seorang agen lainnya. Sebelum petaka itu datang, paling banyak dia hanya menampung sekitar 100 kilo barang bekas. Akhir-akhir ini, peningkatannya sangat luar bisa. Dalam sehari, seberat empat ton barang bekas berhasil ditampungnya. Aluminium dibelinya seharga Rp6000 sedangkan kawat kuning Rp9000.
Nur Halimah membeli barang ini dengan tunai. Karena itu, minimal dia harus menyediakan sebesar 20 juta sehari. "Kita juga ingin menolong pengungsi. Jadi saya tampung semuanya. Sampai-sampai saya ngutang dulu dengan rentenir supaya dapat uang tunai," ungkapnya. Halimah merasa sangat puas melihat ekspresi pengungsi yang senang begitu menerima uang darinya.
"Maklumlah, mereka sudah lama tak pegang uang. Setelah dapat uang, mereka biasanya senyum atau ketawa. Mereka jadi bisa beli rokok atau minum di warung kopi untuk menenangkan pikiran yang stress. Bahkan, dengan uang itu mereka juga bisa pergi ke tempat keluarganya di kota lain," jelas Halimah senang.
Dalam usaha ini, Halimah bermitra dengan rekannya yang ada di Lambaro, Aceh Besar. Setelah barang-barang terkumpul, mereka mengantarnya ke Medan menggunakan truk untuk dijual kembali. Biasanya dia menjual aluminium seharga Rp12.000 per kilo dan kawat kuning Rp15.000. Namun, niat baiknya ini seringkali disalahartikan oleh oknum aparat. Dia dituduh sebagai penadah barang jarahan.
Padahal, kata Halimah, yang dia terima hanyalah barang-barang yang sudah rusak, tak mungkin dipakai lagi. Menentukan dari mana asal barang itu dan siapa pemilik aslinya juga tidak mudah. Sebab, jangankan barang seperti panci atau dandang yang kecil, tsunami juga telah menyapu mobil-mobil dan rumah-rumah sampai berkilo-kilometer jauhnya. "Yang punya barang pun mungkin entah kemana dihanyutkan air," katanya.
Dia juga sering ditanyai oknum aparat soal izin. Sebelumnya, dia memang selalu mengurus izin usahanya itu. Namun, izin itu hanya jangka pendek. Sekarang surat izinnya sudah tak berlaku lagi. Setelah tsunami, kantor yang memberikan izin sudah porak poranda. Karena itu, dia tak bisa lagi mendapatkan surat izin. "Kita mau ngurus kemana lagi izinnya," tanya dia. Keadaan inilah yang sering dimanfaatkan oknum aparat untuk meminta uang kepadanya. (*)
Dibalik Tsunami, Pengumpul Barang Bekas Banjir Rezeki
AGEN pengumpul barang bekas di Kampung Keutapang Banda Aceh merasa kewalahan. Pasca bencana, jumlah barang bekas alias rongsokan yang dijual kepada mereka meningkat tajam, bahkan ada yang peningkatannya sampai 40 kali lipat. Rupiah pun mengalir deras ke dalam kantong mereka.
Laporan Uray Ronald Banda Aceh
Pengungsi korban gempa dan tsunami di Banda Aceh tentu saja masih merasa sedih, stress dan trauma. Umumnya telah kehilangan keluarga dan harta benda. Untuk makan di pengungsian, biasanya mereka hanya diberikan nasi plus mi instan, kadang-kadang ikan asin. Pakaian bekas memang banyak mereka terima, namun kebutuhan-kebutuhan lain yang juga masih banyak, belum tercukupi.
Karena itu, mereka perlu pengalih perhatian sekaligus "rupiah". Tragedi di pekan terakhir tahun lalu itu kini menyisakan bergunung-gunung barang rongsokan di sekitar Banda Aceh. Pada pandangan pengungsi, barang-barang rongsokan ini adalah pilihan terbaik. Selain bisa dijadikan uang, pekerjaan mengumpulkan barang bekas dapat membuat mereka asyik dan lupa akan kesedihannya.
Sementara, di pandangan pengumpul, ini adalah peluang bisnis yang potensial. M Natsir bin Ahmad (30) asal Sigli, baru membuka usahanya ini seminggu yang lalu. Karena itu tadi, ada gula ada semut. "Di samping mendapat uang, kita juga bisa membantu para pengungsi," katanya pada Pontianak Post sambil menimbang rongsokan panci, kompor, dandang dan lainnya yang telah dikemas dalam karung.
"Maklumlah, mereka kan banyak yang merokok, tapi di pengungsian tidak ada yang nyediakan rokok. Dengan mengumpulkan barang bekas, mereka bisa dapat sekadar uang rokok," jelasnya. Natsir hanya menerima tiga macam barang yaitu yang terbuat dari alumnium, tembaga dan besi putih. Tapi, sebagian besar barang yang dijual pengungsi adalah yang terbuat dari aluminium. Barang bekas ini dibelinya seharga Rp6.000 per kilo.
Barang-barang ini dijualnya lagi kepada penampung dari Medan yang langsung "jemput bola" ke tokonya. Aluminium akan segera didaur ulang di sana. Per kilo, dijualnya seharga Rp9000. Barang-barang ini diangkut menggunakan dump-truck. Berarti, satu kilo dia untung lumayan besar, tiga ribu rupiah. Sedangkan jumlah barang yang ditampungnya dalam sehari, bisa mencapai 1,5 ton. Karena itu, paling sedikit dia harus menyiapkan modal sebesar sembilan juta rupiah untuk menebusnya.
Pengungsi yang datang dan membawa barang juga sangat banyak, Natsir kewalahan melayaninya. Dia lalu merekrut 12 orang setempat untuk membantunya. Berkah di balik tsunami juga dirasakan Nur Halimah (33) seorang agen lainnya. Sebelum petaka itu datang, paling banyak dia hanya menampung sekitar 100 kilo barang bekas. Akhir-akhir ini, peningkatannya sangat luar bisa. Dalam sehari, seberat empat ton barang bekas berhasil ditampungnya. Aluminium dibelinya seharga Rp6000 sedangkan kawat kuning Rp9000.
Nur Halimah membeli barang ini dengan tunai. Karena itu, minimal dia harus menyediakan sebesar 20 juta sehari. "Kita juga ingin menolong pengungsi. Jadi saya tampung semuanya. Sampai-sampai saya ngutang dulu dengan rentenir supaya dapat uang tunai," ungkapnya. Halimah merasa sangat puas melihat ekspresi pengungsi yang senang begitu menerima uang darinya.
"Maklumlah, mereka sudah lama tak pegang uang. Setelah dapat uang, mereka biasanya senyum atau ketawa. Mereka jadi bisa beli rokok atau minum di warung kopi untuk menenangkan pikiran yang stress. Bahkan, dengan uang itu mereka juga bisa pergi ke tempat keluarganya di kota lain," jelas Halimah senang.
Dalam usaha ini, Halimah bermitra dengan rekannya yang ada di Lambaro, Aceh Besar. Setelah barang-barang terkumpul, mereka mengantarnya ke Medan menggunakan truk untuk dijual kembali. Biasanya dia menjual aluminium seharga Rp12.000 per kilo dan kawat kuning Rp15.000. Namun, niat baiknya ini seringkali disalahartikan oleh oknum aparat. Dia dituduh sebagai penadah barang jarahan.
Padahal, kata Halimah, yang dia terima hanyalah barang-barang yang sudah rusak, tak mungkin dipakai lagi. Menentukan dari mana asal barang itu dan siapa pemilik aslinya juga tidak mudah. Sebab, jangankan barang seperti panci atau dandang yang kecil, tsunami juga telah menyapu mobil-mobil dan rumah-rumah sampai berkilo-kilometer jauhnya. "Yang punya barang pun mungkin entah kemana dihanyutkan air," katanya.
Dia juga sering ditanyai oknum aparat soal izin. Sebelumnya, dia memang selalu mengurus izin usahanya itu. Namun, izin itu hanya jangka pendek. Sekarang surat izinnya sudah tak berlaku lagi. Setelah tsunami, kantor yang memberikan izin sudah porak poranda. Karena itu, dia tak bisa lagi mendapatkan surat izin. "Kita mau ngurus kemana lagi izinnya," tanya dia. Keadaan inilah yang sering dimanfaatkan oknum aparat untuk meminta uang kepadanya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar