Dimuat Pontianak Post Sabtu, 22 Januari 2005
Takutku Hilang Melihat Begitu Banyak Mayat
KEPERGIANKU ke Banda Aceh sungguh tak terbayangkan awalnya. Selama ini aku hanya berkutat di liputan Kota Pontianak saja. Tahu-tahu begitu ditugasi oleh kantor untuk pertama kalinya, aku malah dipercaya untuk melakukan peliputan di Aceh. Padahal di kantorku, aku termasuk yang paling yunior lho, maklumlah aku belum ada setahun bekerja di Pontianak Post.
Pengalaman meliput di Aceh itu memang sangat berharga bagiku dan tak akan pernah terlupakan seumur hidup. Aku berangkat dari Medan ke Banda Aceh di hari pertama tahun baru 2005. Aku dan rombongan wartawan menumpang truk bersama dengan beberapa pekerja penggali sumur bor. Perjalanan lewat darat ini memakan waktu sekitar 18 jam. Sebenarnya, kalau naik bis umum hanya 13 jam saja.
Sepanjang jalan ini kami belum bisa membayangkan bagaimana sebenarnya kondisi Banda Aceh. Di Lhokseumawe, hanya sebagian kecil saja jalan yang rusak akibat gempa. Kondisi pengungsinya pun relatif baik. Begitu kami memasuki kawasan perkotaan, dari kejauhan terlihat Masjid Baiturrahman dengan megahnya. Dari situlah, segala kehancuran terlihat jelas. Debu-debu dan aroma busuk mulai menyapa hidung. Mayat-mayat banyak bergelimpangan di pinggir jalan. Gedung-gedung dan rumah-rumah hancur berantakan.
Beberapa excavator hilir mudik membersihkan reruntuhan dan puluhan relawan sedang sibuk membungkusi mayat dengan kantong plastik. Kehancuran semakin nyata terlihat, mobil-mobil posisinya lintang pukang, bahkan kapal motor ada di jalan raya yang jauh dari laut. Sepanjang jalan kami semua menutup hidung. Waduh, tasku diletakkan di depan, sementara masker ada di sana. Terpaksa, krah baju dijadikan masker. Mayat-mayat semakin banyak yang kami lihat.
Mayat-mayat itu posisinya bermacam-macam dan sebagian sudah tak berbaju. Mayat manusia itu layaknya bangkai binatang saja, dibiarkan tergolek di sana. Sementara beberapa orang terlihat lewat dengan santai di sampingnya. Terbayang saat di Pontianak, melihat sesosok jenazah orang meninggal saja aku takutnya bukan main. Di Aceh, entah kenapa, rasa takut itu sirna, mungkin karena sudah terlalu banyak yang dilihat. Terlihat beberapa relawan menggotong mayat dari dalam masjid.
Rupanya, mayat-mayat memang sengaja dikumpulkan di dalam masjid untuk memudahkan identifikasi dan evakuasi. Aku bersama seorang rekan mencoba untuk turun dan memberanikan diri melihat dari dekat puluhan mayat yang sudah diletakkan di pinggir jalan. Kami ingin mengambil gambarnya. Semakin dekat, kepalaku jadi pusing, busuknya bukan kepalang, hampir saja aku muntah. Apalagi ketika kantong-kantong berisi mayat yang belum diplester tersibak oleh angin. Dengan cepat aku menjauh. Luar biasa, bagaimana relawan-relawan itu bisa tahan?
Sungguh, ini adalah pengalaman pertama yang takkan terlupakan seumur hidup. Aku sempat dikira orang Aceh oleh warga setempat. Ketika mengantri di kamar mandi, antri makan atau di warung dan di jalan, biasanya mereka berbicara menggunakan Bahasa Aceh denganku. Aku hanya manggut-manggut saja walaupun sama sekali tak mengerti. Setelah kujelaskan bahwa aku dari Kalbar, barulah mereka menggunakan Bahasa Indonesia berlogat Aceh yang kadang-kadang masih sulit kumengerti.
Menurut mereka, wajahku mirip orang Aceh. Ketika berkeliling mencari berita itulah, aku tahu bahwa kerusakan di Banda Aceh benar-benar parah. Mayat-mayat masih terus ditemukan dan pembersihan kota juga berjalan tanpa henti. Kalau malam tiba, suasana mencekam menyelimuti Banda Aceh. Beredar isu hantu gentayangan membuat orang enggan keluar kecuali ada hal mendesak.
Apalagi, kabarnya GAM sedang aktif dengan kegiatannya. Jalan-jalanan sepi dan sebagian besar gelap gulita. Maklum, jaringan listrik mengalami kerusakan hebat. Kalaupun ada kendaraan yang lewat, paling-paling itu adalah kendaraan aparat atau orang yang terpaksa keluar karena keperluan penting. Pengalaman mengesankan juga terjadi di sekitar pendopo dalam minggu pertama. Saat itu sering terjadi gempa susulan. Malam itu aku tidur di masjid karena tenda penuh.
Aku memakai kantong tidur supaya tak kedinginan. Di masjid itupun sudah hampir penuh oleh para relawan. Gempa pertama terjadi sekitar pukul 01.30 WIB. Aku yang sedang tidur pulas di dalam kantong tidur langsung tersentak, kulihat relawan sudah berlarian keluar sambil berteriak gempa. Aku ingin lari juga, tapi kantong tidur sulit dibuka. Setelah aku berhasil membukanya, gempa sudah tenang sehingga aku tak jadi lari. Relawan pun sudah masuk kembali ke dalam masjid.
Gempa itu terasa sangat kuat karena seisi bangunan bergetar. Kami takut bangunan itu runtuh. Dari pengalaman itulah, berikutnya aku jadi enggan mengkancingkan kantong tidur. Supaya bisa cepat lari, pikirku. Gempa susulan masih terus terjadi dalam beberapa hari dan seperti biasa, gempa ini dikuti oleh kepanikan-kepanikan. Beberapa hari kemudian, ketika hujan deras pertamakali turun di Banda Aceh.
Isu tsunami susulan juga berhembus. Sungai yang letaknya tak jauh dari pendopo airnya naik dan mengalir dengan deras. Ada yang berteriak, "air naik...air naik, tsunami datang lagi". Warga yang mendengarnya spontan berlarian menuju tempat yang lebih tinggi. Ada juga yang mencoba memanjat pohon. Karena saat itu aku berada di luar ruangan, aku awalnya tak mengerti kenapa warga berlarian. Karena semakin banyak yang panik dan berlarian, aku juga ikut lari keluar. Di luar orang-orang saling bertabrakan. Namun kepanikan ini tidak berlangsung lama. Masyarakat Aceh ternyata masih trauma dengan tragedi yang menimpa mereka. (**)
Sabtu, 09 Februari 2008
Ke Aceh Meliput Tsunami
Label:
Sebuah Tragedi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar