Sabtu, 09 Februari 2008

Kuburan massal

Dimuat Pontianak Post Kamis, 6 Januari 2005

Menengok Petugas Kuburan Masal Korban Tsunami Aceh
Tanpa Masker, Usir Bau dengan Banyak Merokok

Belasan ribu mayat yang menjadi korban bencana di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) boleh berterima kasih kepada para pekerja penggali kuburan massal. Sosok penggali kuburan massal setiap harinya harus berhadapan dengan mayat-mayat yang umumnya telah membusuk dan kebanyakan tak utuh lagi. Bagaimana perasaan dan kesan si penggali kubur ketika menunaikan tugasnya?

Laporan Uray Ronald, Banda Aceh

MOHAMMAD Kosim (53) adalah petugas yang bertanggung jawab mengebumikan mayat di Lambaro. Ditemani tiga orang rekan dan dua orang pembantu, tugas mulia ini dilakoninya. Dua unit excavator jadi alat utama mereka. Di atas tanah milik negara yang luasnya sekitar setengah hektar, liang-liang kubur mereka gali. Kemudian, mereka menunggu truk-truk pengangkut mayat tiba. Setelah mayat disusun dengan rapi dalam liang, mereka lalu mengurugnya.

Di atas tanah yang sebelumnya kebun pisang ini nantinya akan dibangun sebuah monumen bersejarah. Dalam sehari, rata-rata 15 sampai 35 liang dirampungkan. Jumlah mayat tergantung pada ukuran liang. Konstruksi makam dibuat bertingkat atau berlapis-lapis. Paling minim tiga lapis dan paling banyak empat lapis. Setelah mayat diletakkan di dasar liang lalu diurug dengan tanah. Kemudian, di atasnya diletakkan lagi mayat-mayat, diurug lagi dan demikian seterusnya.

Karena itu, makam yang telah selesai dikerjakannya menyisakan gundukan sekitar setengah meter di atas permukaan tanah asli. Mereka sebenarnya bekerja sejak pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Namun, seringkali waktu istirahat mereka tertunda karena truk pengangkut mayat terus berdatangan. Sampai saat diwawancara Pontianak Post, Selasa (4/1) pagi, Mohammad Kosim dan rekannya telah menguburkan sekitar 16.300 mayat. Satu hal yang mengherankan, Kosim mampu bertahan tanpa menggunakan masker.

Padahal, aroma mayat yang telah membusuk sangat menusuk hidung. Apalagi ketika hari pertama tragedi gempa dan tsunami. Saat itu mayat-mayat yang dibawa ke pemakaman Lambaro sebagian besar tanpa kantung mayat sehingga bau busuk lebih keras tercium. Apa resepnya? "Saya banyak-banyak merokok. Satu hari kerja bisa tiga bungkus lebih," katanya seraya menghisap sebatang Ardath merah dalam-dalam.

Asap rokok, menurutnya sangat ampuh mengusir bau yang tidak sedap. Dia enggan memakai masker karena risih. Masker juga dianggapnya mengganggu kelancaran pernafasan. Ternyata, sekian lama bergaul dengan mayat busuk tak juga mengurangi selera makannya. Rasa mual pun tidak dirasakan olehnya. "Waktu belum dibungkus kantong, kita bisa melihat jelas mayat-mayat busuk tanpa kepala atau anggota badan lainnya. Posisinya juga sangat mengenaskan. Yang ada hanya rasa iba," ungkapnya.

Perasaan bahwa tugas ini sebagai suatu kewajiban, semakin menguatkan hatinya. "Ini sudah menjadi tugas kita sesama muslim. Kita ke sini dengan niat baik," tuturnya. Setelah hari ketiga pasca gempa, barulah mayat-mayat mulai dibungkus kantong-kantong plastik beraneka warna. Merah, putih atau hitam. Kantong-kantong ini berasal dari berbagai negara. Ada yang berasal dari Indonesia, Jepang, Cina dan lainnya.

Dengan demikian, dampak psikologis yang dirasakan saat melihat mayat itu jadi sedikit berkurang. Pria dengan empat anak ini juga mengaku tidak disuntik antibiotik atau obat medis penangkal penyakit lainnya. Tapi, ramuan dari kampunglah yang dijadikan bekalnya. "Untuk jaga-jaga. Kita takut juga sih," katanya. Dengan ramuan kampung yang telah dibacakan doa-doa ini dia berharap dapat terlindung dari segala gangguan penyakit.

Selanjutnya, pria asal Desa Gani Aceh Besar ini menuturkan, di awal-awal pasca gempa, banyak warga yang datang ke Lambaro. Mereka adalah orang-orang yang bingung mencari anggota keluarganya. Mereka ingin mengidentifikasi mayat tersebut. Ada beberapa yang menemukan jenazah keluarga dan mengambilnya untuk dimakamkan di tempat lain. "Memang kita izinkan mereka membawa pulang mayat keluarganya," jelas Kosim.

Ada juga yang meskipun tahu itu keluarga mereka tapi merelakannya untuk dimakamkan secara massal. Lain halnya dengan Kosim, Azmi (27) rekannya dengan terus terang mengatakan bahwa pada hari pertama bekerja dia muntah-muntah. Selain karena bau busuk, sebagian besar mayat kondisinya sangat mengenaskan. Sebelum memulai pekerjaannya dia juga dihinggapi rasa takut. Namun seiring perjalanan waktu, perasaan itu berangsur-angsur hilang. "Kita lama-lama jadi terbiasa. Mau gimana lagi, di mana-mana melihat mayat. Ini juga sudah merupakan kewajiban," ucapnya.

Kebanyakan korban adalah perempuan dan anak-anak yang rata-rata tak berbaju. "Ini waktu hari pertama sampai ketujuh. Mayat banyak yang belum dibungkus, jadi kita bisa mengetahuinya." Hal ini sedikit mengurangi selera makan Azmi. Warna kantong mayat, bagi Azmi juga punya pengaruh tersendiri. Mayat yang terbungkus kantong warna putih dapat membuat bulu kuduknya merinding. Sedangkan warna lain tidak. Azmi juga pernah sekali dihinggapi mimpi buruk.

Dalam mimpinya, dia didatangi seorang perempuan yang hanya berbalut handuk yang menutupi dada hingga lutut. Perempuan itu memanggil-manggil namanya dan melambaikan tangan. "Cuma sekali saja, sekarang tidak pernah lagi," katanya. Mereka tidak tahu sampai kapan pekerjaan ini selesai. Satu hal yang jelas, mereka akan selalu siaga sampai tidak ada lagi mayat ditemukan di sekitar Banda Aceh. Mungkin masih sebulan lagi atau kurang.

"Uang makan" mereka perhari plus "uang rokok" sebagai balas jasa atas pekerjaan ini yaitu sebesar Rp 100 ribu. Jumlah ini tak sebanding dengan beban pekerjaan yang mereka tanggung. Terlebih lagi mengingat harga barang di sekitar Banda Aceh saat ini sangat mahal dan sulit didapat.**

Tidak ada komentar: