Sabtu, 09 Februari 2008

Penculikan?

Dimuat Pontianak Post Jumat, 14 Januari 2005

Penculikan Berkedok Adopsi Menjadi Momok Pengungsi Aceh

Anak-anak pengungsi di Aceh saat ini dihantui isu penculikan dan trafficking yang bermotif untuk meringankan beban mereka. Rumor beredar dan menyatakan telah banyak diantara anak-anak Aceh yang dibawa keluar daerah bahkan keluar negeri. Jika ada orang tak dikenal, baik itu wartawan maupun relawan yang bertanya kepada anak pengungsi tentang anggota keluarganya, rata-rata akan menjawab "ada, masih lengkap!" Kebohongan ini dilakukan agar mereka tidak menjadi incaran para penculik. Apakah ancaman ini riil, ataukah hanya isapan jempol?

Laporan Uray Ronald, Pontianak Post

"JANGAN dimasukkan koran bang, aku takut! Nanti orang itu tahu, aku bisa diculik dan dibawa ke Amerika," kata Rahmat Fatra (12) seorang anak pengungsi Aceh setelah Pontianak Post memotretnya, Kamis (13/1). Dia adalah salah satu korban tragedi gempa dan tsunami yang selamat dan takut diculik. Topik penculikan memang sedang marak dibicarakan di kamp tempatnya mengungsi.

Setelah diajak berbincang-bincang dan dijelaskan panjang lebar, akhirnya anak kelas I SMP 5 Ulee Lheue ini mengerti dan bersedia diwawancara. Dia mengaku pernah ditanyai seorang pria setengah baya dari Jakarta. Jika Fatra tidak punya lagi sanak keluarga, maka pria itu akan membawanya pergi ke Jakarta. Pria itu mengiming-iminginya dengan janji-janji muluk bahwa dia akan hidup enak dan disekolahkan.

"Saya bilang, saya mengungsi dengan keluarga. Saya masih ada bapak dan ibu," kata Fatra sedikit berbohong. Sebetulnya, dia hanya mengungsi dengan ayahnya Fathun Usman. Ibu dan dua adiknya yang tercinta sampai sekarang belum diketahui kabar beritanya. Mau dibilang sudah meninggal tapi jenazahnya belum ditemukan. Dibilang masih hidup, Fatra dan ayahnya tak tahu di mana mereka berada. Yang jelas, saat kejadian, ibu dan dua adiknya sedang di rumah, sementara dia dan ayahnya sedang berjualan langsat di Peukan Bada.

Rumahnya di Ulee Lhue, kawasan pesisir di sebelah Utara Banda Aceh itu porak poranda dihantam gempa dan tsunami. Ketika menjenguk ke Ulee Lheue beberapa waktu lalu, Fatra bahkan tak tahu lagi di mana lokasi rumahnya. "Semuanya sudah hancur," tuturnya lirih. Gurat-gurat kesedihan masih terlihat jelas di mukanya. Ulee Lheue tak begitu jauh dari Banda Aceh. Kita dapat mencapainya dengan ojek hanya sekitar 15 menit. Ketika Pontianak Post melawat ke sana tiga hari lalu, sebagian besar bangunan memang rata dengan tanah. Sejauh mata memandang, hanya sedikit bangunan yang masih berdiri.

Ketika kita melintasi jalannya yang berlumpur, di kiri-kanannya penuh dengan puing-puing dan rongsokan kendaraan. Bahkan, mayat-mayat masih banyak yang tertimbun reruntuhan. Hal ini diketahui dari aroma busuk yang mengganggu penciuman. Selanjutnya Fatra bercerita, menurut orang-orangtua di tempatnya mengungsi, Fatra harus hati-hati terhadap orang tak dikenal. Saat ini banyak penculikan anak. Dia juga mendengar cerita bahwa ada seorang ibu di pengungsian yang terus menerus menangis karena anaknya telah dibawa kabur. Sebelumnya, anak itu juga ditanyai orang tak dikenal.

Bunyi pertanyaannya senada dengan yang pernah ditujukan kepada Fatra, apakah dia masih ada ayah atau ibu. Anak itu menjawab bahwa dia hanya tinggal bersama ibu sedangkan ayahnya telah meninggal. Akibatnya, anak tersebut dibawa lari entah kemana. Fatra juga mendengar, ada 300 anak yang sudah dibawa keluar negeri, diantaranya ke Amerika. Kebenaran kabar ini sulit dilacak, namun di warung-warung kopi, tema trafficking ini juga sering disinggung.

Kekhawatiran adanya trafficking juga dilontarkan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi alias Kak Seto. Menurutnya, bagi anak-anak yatim piatu dan terpisah dari orangtua dan keluarganya, maka reunifikasi dan evakuasi sementara adalah jalan yang terbaik. Hal ini agar tidak menghilangkan anak Aceh dari akar sejarah dan budayanya. Proses pengasuhan atau adopsi bagi Anak Aceh sebaiknya menjadi upaya terakhir dan harus mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 37-41. Semua proses adopsi ini harus melalui pemerintah, dalam hal ini Dinsos.

Berdasarkan pengalaman selama ini, adopsi atau pengangkatan anak ini rentan dengan perdagangan anak (child trafficking) dan kekerasan pada anak (child abuse). Karena itu, pihaknya mengimbau agar seluruh masyarakat melakukan pengawasan terhadap upaya pengasuhan dan pengangkatan anak. Pengurus lembaga Aljami Dai Internasional Banda Aceh, Ibnu Muhammad juga menyatakan hal yang senada. Pihaknya mengingatkan agar pemerintah secepat mungkin mengantisipasi terjadinya perbuatan yang melanggar hukum dan HAM itu.

Beberapa hari lalu, Ibnu telah menyebar pamflet-pamflet yang menentang terjadinya pengadopsian anak secara illegal, perdagangan manusia serta perbudakan. Dia juga mengatakan, perdagangan anak dan perempuan itu bisa saja terjadi dengan kondisi Aceh seperti saat ini. Menurutnya, pihak-pihak tertentu bisa saja mengaku relawan tetapi menyembunyikan niat busuk untuk membawa anak-anak dan wanita Aceh keluar dari tanah kelahirannya. Jika tidak terus-terusan diingatkan, Ibnu pesimis pemerintah dapat memberikan perhatian yang lebih terhadap anak korban Aceh.

"Dalam UUD memang ditegaskan bahwa fakir miskin dan anak telantar menjadi tanggungjawab negara. Tapi, perhatian terhadap anak yatim saja, selama ini masih kurang, apalagi mau memelihara anak korban Aceh," katanya. Menurutnya, kondisi warga Aceh yang sekarang tengah dihimpit kesulitan, akan memudahkan "penipu" untuk merayu agar mau ikut dengan mereka, tentunya dengan alasan untuk menolong. Namun di balik itu justru menjerumuskan.

"Kita mendengar isu, ada sekitar 200 orang anak-anak dan wanita Aceh di bawa keluar aceh. Meskipun tujuan awalnya untuk menolong tetapi kita khawatir," ungkapnya. Kalau memang pemerintah nantinya mengambil kebijakan memberi hak asuh kepada orang-orang di luar Aceh, kata Ibnu, hal itu harus betul-betul bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk jika ada orang-orang diluar Islam yang ingin mengasuh anak-anak Aceh yang mayoritas muslim.

"Kalaupun ada yang mau jadi orang tua asuh, kita harap dibuat perjanjian yang jelas dengan waktu tertentu. Ini juga tidak berarti harus membawa anak-anak dan wanita Aceh keluar dari NAD," ucapnya. Jika anak-anak dan wanita Aceh di bawa keluar Aceh ini akan mempengaruhi regenerasi dan keberlangsungan kultur dan etnisitas Aceh. Budaya Aceh adalah salah satu kekayaan Indonesia yang juga harus dilestarikan.(*)

Tidak ada komentar: