Dimuat Pontianak Post Selasa, 11 Januari 2005
Tak Ingin Lost Generation Terjadi di Bumi Serambi Makkah
Anak-anak Aceh; Keceriaan Diantara Duka Pasca Tsunami
Aceh boleh centang perenang akibat gempa dan tsunami. Puluhan ribu bangunan boleh rata dengan tanah, ratusan ribu jiwa boleh melayang. Namun, harapan takkan pernah musnah. Meski banyak yang kehilangan orangtua dan semua yang dimiliki, meski bayang-bayang bencana terus menghantui, anak-anak Aceh di pengungsian masih bisa tersenyum. Cita-cita mereka tetap tergantung tinggi melebihi bintang di angkasa. Mereka yakin masih ada hari esok yang tentu saja akan jauh lebih baik.
Laporan Uray Ronald, Banda Aceh
KOMPLEK Pemancar TVRI Mata Ie Banda Aceh, Minggu (9/1) pagi, sekelompok anak tengah berkumpul di lapangan. Mereka dipandu beberapa relawan dari Medan untuk bermain dan bernyanyi. Syair-syair lagu yang dinyanyikan agak "cadel" serta gemuruh tepuk tangan semakin jelas terdengar ketika Pontianak Post berjalan mendekat. Saat itu memang digelar pendidikan darurat buat mereka yang rata-rata berusia TK nol besar.
Hanya sebagian kecil yang usia SD. Terlihat pula seorang relawan yang sedang membagi-bagikan alat tulis bagi sekelompok anak lainnya. Tak lama kemudian, lomba menggambar pun digelar. Dengan antusias anak-anak itu menuangkan idenya di atas kertas. Berbagai macam gambar mereka hasilkan. Menurut Habibie, seorang relawan, fokus utama pendidikan darurat ini yaitu mengupayakan agar anak-anak fun dan melupakan tragedi yang menimpa mereka. Pengalaman traumatis itu diharapkan dapat terkikis jika mereka dibuat sibuk oleh permainan dan pelajaran.
Beberapa anak lain tampak berebutan ketika seorang relawan membagikan permen. "Minta bang!" kata seorang anak sambil menjulurkan tangannya diantara kerumunan rekannya. Seorang anak perempuan menangis karena belum kebagian. Untunglah sang kakak relawan dengan penuh kasih sayang membelai rambutnya. Beberapa permen digenggamkan di tangan kanannya.
Seketika itu pula senyum mengembang di bibirnya. Meskipun malang, anak-anak itu juga beruntung karena masih banyak yang peduli terhadap nasib mereka. Pemerintah dan beberapa LSM baik dalam maupun luar negeri dengan giat memperjuangkan hak-hak mereka. Anak-anak, patut dilindungi dari pengaruh bencana karena punya kerentanan yang lebih tinggi dibanding orang dewasa. Mereka masih dalam tahap pertumbuhan.
Menurut Seto Mulyadi alias Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak yang menyempatkan diri datang ke Aceh, dampak bencana alam pada anak lebih berat dan permanen. Apa yang terjadi di masa kanak-kanak akan membentuk pemahamannya tentang lingkungan sosial dan peran sosialnya di masa depan. Pihaknya telah melakukan pelatihan kepada puluhan relawan untuk memberikan pendampingan konseling psikososial dan bimbingan pemulihan jiwa anak pasca traumatik.
Relawan-relawan ini nantinya akan disebar ke sejumlah kamp-kamp pengungsi untuk melakukan tugasnya. Beberapa relawan dari Mexico Rescue Team juga turun tangan. Direncanakan, mereka akan berada di Aceh selama dua minggu. Selama itu, mereka mendatangi kamp-kamp pengungsi untuk memberikan hiburan. Diantara relawan itu, seorang berkebangsaan Indonesia yang kebetulan berkuliah di sana yaitu Fitra Ismu.
"Kita ingin mengalihkan perhatian anak-anak dari tragedi yang telah terjadi," kata Fitra saat ditanya tujuan mereka. Berbagai jenis hiburan mereka suguhkan. Anak-anak dikumpulkan untuk menonton "wayang golek" versi bule. Tokoh yang dijadikan wayang adalah Goofy (tokoh kartun Walt Disney). Boneka Goofy yang dikendalikan menggunakan benang oleh seorang relawan itupun beraksi, berlenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan. Anak-anak senang melihatnya.
Mereka disuruh menyanyi sambil bertepuk tangan sementara si wayang golek mengiringinya dengan tarian. Anak-anak jadi makin bersemangat. Mereka enggan hiburan ini dihentikan, tak peduli bahwa sang dalang sudah kelelahan. Ketika para relawan itu ingin pergi ke lokasi pengungsi lainnya, rombongan anak itu kecewa. Mereka masih ingin dihibur lebih lama. Sang dalang yang ingin segera naik ke kendaraan terus mereka buntuti. Beberapa orang menggapai-gapai boneka goofy sekedar untuk mengelusnya.
Sang dalang tak tega melihat ini. Dia memutuskan untuk menunda keberangkatan. Rasa lelah dan keringat yang bercucuran dia lupakan sejenak. Anak-anak kembali diajak bermain. Seorang anak diperkenankan menggendong boneka goofy sambil berlari mengitari kompleks sambil tertawa riang. Beberapa anak mengikutinya dari belakang. Anak-anak pengungsi juga masih punya cita-cita. Mereka ingin menggapainya dengan terus belajar di sekolah.
Ivan (11), siswa kelas VI SD, pengungsi asal Kampung Baro mengatakan, dirinya ingin menjadi ABRI. Anak pengungsi asal Lantemen Timur, Dian (12), ingin menjadi dokter demikian pula Dara Ayu (11). Munira (9), yang sebetulnya duduk di kelas III, ingin menjadi guru sementara Haikal (9) mau jadi pembalap. "Kami masih ingin sekolah, tapi sekolah kami rusak," kata mereka. Ini adalah PR bagi pemerintah. Anak-anak tersebut adalah tumpuan Aceh di masa depan. Mereka butuh perhatian serius agar tidak terjadi lost generation di bumi Serambi Makkah.**
Sabtu, 09 Februari 2008
Setitik Asa
Label:
Sebuah Tragedi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar