Sabtu, 09 Februari 2008

Menjenguk Serambi "Depan" Negeri 2


Dimuat Pontianak Post Minggu, 20 Maret 2005

Menyusuri Pergeseran Patok Perbatasan Kalbar-Sarawak 2
Geser Patok untuk Perluasan Ladang Berpindah

Hubungan kekerabatan dan saling ketergantungan antara masyarakat Siding dan Gumbang, Serikin Malaysia telah terjalin sejak zaman nenek moyang. Mereka berasal dari satu suku yaitu Dayak Bedayuh. Bahkan, banyak diantara warga Siding yang punya keluarga di Gumbang.

Laporan Uray Ronald, Bengkayang

DALAM ekonomi, warga Siding sangat tergantung pada Gumbang. Karena akses untuk ke wilayah Indonesia terbilang jauh dan mahal. Karena itu mereka lebih memilih berbelanja ke sana, tentunya dengan Ringgit. Sebagian besar kebutuhan mereka didapatkan dari Malaysia. Warung-warung di Siding sendiri, juga memberlakukan dua mata uang, Rupiah dan Ringgit.

Ketua Adat Siding, Asmudin (56) mengatakan, jika tak punya Ringgit, mereka bisa menukarnya lebih dulu di Gumbang. Perjalanan ke Gumbang, dapat ditempuh dengan berjalan kaki turun naik bukit selama dua jam. Sebaliknya, jika ke Seluas, mereka harus merogoh kocek ratusan ribu rupiah, menggunakan ojek ataupun speedboat. "Kalau belanja hanya satu pikulan, lebih baik ke Gumbang. Tapi kalau belanja sampai satu perahu, baru ke Seluas," katanya.

Menurut dia, warga Gumbang juga baik pada mereka. Jika mereka kesana, dilayani dengan ramah, diajak berbincang dan disuguhi minuman dan makanan. Bahkan, para petugas di sana juga baik pada mereka kecuali jika mereka berbuat salah. Biasanya, warga Siding ke sana sambil membawa hasil-hasil pertaniannya untuk dijual. Kemudian, mereka menukarnya dengan berbagai barang kebutuhan.

Ketika Pontianak Post bersama rombongan Dandim 1202/Singkawang Letkol Inf Putro Lelono meninjau patok batas di sana, warga Siding sempat risau. Kata Kepala Desanya, Peter (32), warga takut hal ini menimbulkan kesalahpahaman dengan warga Gumbang. Akibatnya, mereka bisa dipersulit jika nanti berbelanja ke sana. Kekerabatan warga Siding dan Gumbang juga dekat. Mereka dari suku yang sama yaitu Dayak Bedayuh.

Cuma, bahasa mereka berbeda. Namun, banyak warga Siding yang mengerti bahasa Gumbang dan sebaliknya. "Kalau Gumbang, mereka campur suku Iban," jelas Maryanto (25), Plt Kasi Trantib Kecamatan Siding. Selain itu, banyak diantara warga Siding yang menikah dengan warga Gumbang. Asmudin juga memiliki ibu asal Gumbang. Bahkan, kini seorang adiknya tinggal di sana. Kenapa dia tidak tinggal di sana?

"Jiwa saya jiwa Indonesia. Biarlah adik saya di sana, jiwanya memang cocok di Malaysia," jawabnya. Ada lagi yang memiliki paman, sepupu dan kakak di sana. Peter, Kepala Desa Siding juga mengatakan, jika dia ingin tinggal di Gumbang, tak ada halangan baginya. Soalnya, dia juga banyak famili di sana. Bahkan di zaman konfrontasi tahun 1960-an, hubungan antara Siding dan Gumbang menurut Asmudin yang ketika itu masih bujangan, juga tetap baik.

"Perang itu masalah lain, itu antara pemerintah, kami tak perlu ikut. Belanja tetap belanja, yang perang silakan perang," katanya. Hanya saja, ketika ingin melewati patok batas, mereka kadangkala dilarang aparat di sana. Tapi, kemudian akan datang pemilik toko di Gumbang yang menjamin bahwa mereka hanya berbelanja, bukan untuk keperluan spionase. "Barulah kita dibolehkan masuk, timbang barang dan belanja di toko dan pulang. Tapi ini hanya untuk orang Siding saja," tuturnya.

Generasi muda Siding juga katanya banyak yang bekerja di Kuching, Malaysia. Sebagian dilengkapi dokumen berupa paspor tapi yang lain tidak. Itu tak apa-apa. Hal ini karena banyak memiliki kerabat di sana. "Contohnya saya, punya ibu di sana, siapa yang mau macam-macam," tukasnya. Dari sudut pandang Gumbang, wilayah Siding juga sangat bermakna. Mereka berladang, berburu dan mengambil kayu di wilayah Siding secara turun temurun. Sebagian besar rumah di Gumbang asal kayunya adalah dari Siding.

Di Gumbang sendiri memang sudah tidak memiliki kayu. Karena itu, tak heran jika bukit-bukit di Siding kini sepi dengan jenis-jenis kayu komersil seperti meranti atau ulin. Kenapa orang kampung Siding tidak marah? "Bagaimana kita mau marah, mereka hanya untuk pakai saja. Itupun memang sudah dari zaman dulu," katanya. Apalagi, sebelum berladang, berkebun atau mengambil kayu, utusan Gumbang dulunya sering datang ke Siding untuk memohon izin secara baik-baik.

"Kalau kita ketemu mereka yang sedang berburu, biasanya kitapun makan hasil buruan sama-sama. Karena mereka merasa ngambilnya di Indonesia, mereka tak ragu membagi buruannya jadi dua. Pokoknya, masyarakat Gumbang dan Siding belum pernah ada masalah," sebutnya. Apalagi, orang Siding memang tidak mampu memanfaatkan kawasan di sekitar perbatasan yang luas. Kalau untuk mengambil kayu, mereka akan kesulitan mengangkutnya. Untuk berladang, jarak sekitar dua jam itu juga dianggap terlalu jauh. Kawasan itu praktis terbengkalai.

Sebaliknya dari Gumbang, jaraknya relatif dekat, hanya sekitar setengah jam jalan kaki. Sampai saat ini, kawasan Indonesia yang dipakai orang Gumbang berladang mencapai radius satu setengah jam jalan kaki dari Gumbang. Bahkan, sekarang sebagian kawasan itu telah ditanami dengan tanaman keras seperti Tengkawang. Tak hanya itu, patok perbatasan juga telah bergeser masuk ke Indonesia. Kata Dandim 1202/ Singkawang, Letkol Inf Putro Lelono, latar belakangnya agar ada legitimasi bagi mereka untuk mengusahakan lahan di kawasan itu.

"Mereka menggeser patok supaya bisa bebas dan tidak kena pajak. Dengan menggeser ini mereka juga jadi lebih tenang," jelasnya. Masalah penggeseran patok menurut Putro, telah terjadi sejak belasan tahun lalu. Terkait hal tersebut, pihaknya telah melaporkan ke danrem dan diteruskan ke pangdam. Dia menyangkal adanya indikasi rekayasa pihak Pemerintah Diraja Malaysia dalam penggeseran patok tersebut. "Menurut saya pemerintahnya juga belum tahu. Ini ulah masyarakat saja yang ingin memperluas ladang," katanya. (bersambung)

Tidak ada komentar: