Sabtu, 09 Februari 2008

Menjenguk Serambi "Depan" Negeri 3


Dimuat Pontianak Post Senin, 21 Maret 2005

Menyusuri Pergeseran Patok Perbatasan Kalbar-Sarawak (3)
Patok Awal Berada di Tengah Desa Gumbang

Masyarakat Siding sadar bahwa patok perbatasan telah bergeser masuk ke wilayah mereka. Namun, masalah itu terpinggirkan karena kekerabatan dan ketergantungan dengan pihak Malaysia yang masih tinggi. Seberapa banyak wilayah kita yang dicaplok Malaysia?

Laporan Uray Ronald, Bengkayang

MASIH ada silang pendapat antara Dandim 1202/Singkawang, Letkol Inf Putro Lelono dengan sesepuh Desa Siding dalam penentuan patok batas awal. Menurut Putro, Selasa (15/3) di Batu Aum, patok awal yang menunjukkan titik nol Indonesia terletak di Batu Aum, 7 km dari Desa Siding. Namun, pantauan Pontianak Post di lokasi, terdapat dua patok Tipe D (jarak antarpatok 200-300 meter) lagi yang menjorok ke kawasan Siding.


Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran patok oleh pihak Malaysia. Jika diukur dari patok Batu Aum, Malaysia telah mencaplok sejauh 600 meter. Kata Putro, penggeseran itu dilakukan oleh warga Gumbang, Serikin Malaysia. Motivasi warga mulanya ingin mengambil kekayaan alam Indonesia berupa kayu. Namun setelah kayu dibabat habis, mereka kemudian berladang dan berkebun.

Menurut analisisnya, hal ini karena warga Gumbang Malaysia takut dikenai pajak. Penggeseran patok itu dijadikan alat legitimasi mereka dalam melakukan kegiatannya. Pendapatnya berbeda dengan yang diungkapkan Ketua Adat Desa Siding, Asmudin (56). Sebagaimana penuturan orang-orangtua yang didengarnya, patok awal sebenarnya berada di tengah Kampung Gumbang Distrik Serikin Malaysia. Jarak antara Kampung Gumbang dengan Batu Aum sekitar 2 km.

Kalau Asmudin benar, berarti patok batas telah bergeser sekitar 2,6 km ke arah Indonesia. Sedangkan patok di Batu Aum, yang diklaim Dandim sebagai patok awal, menurutnya adalah patok kedua. Patok tersebut, kata Asmudin, merupakan hasil kesepakatan antara Belanda (penjajah Indonesia) dan Inggris (penjajah Malaysia). Namun, dia tidak tahu tahun berapa kesepakatan tersebut dibuat. Kesepakatan itu dianggap belum sah karena ketika itu, Sultan Sambas Muhammad Syafiuddin II tidak setuju patok digeser.

Awalnya, penggeseran itu adalah permintaan Kerajaan Sarawak kepada Kerajaan Sambas (Indonesia) yang diprakarsai kedua penjajah tadi. "Sultan Sambas tidak mau memberikan tanahnya, tapi dia datang kesini sebagai saksi, beliau naik ke bukit ditandu para pengawal," tutur laki-laki yang ramah itu. Kerajaan Serawak meminta tanah se-“kulit kerbau”, tapi ditolak Sultan Sambas. Sekulit kerbau adalah kiasan orang zaman dulu. “Panjangnya kita tidak tahu. Pokoknya bagaimana kalau kulit kerbau itu dijadikan tali, sepanjang itulah kira-kira,” katanya. Setelah ditolak Sultan Sambas, kembali diajukan permintaan se-kulit kambing. Lagi-lagi permintaan itu ditolak.

Namun, karena kedua kerajaan di bawah penjajahan, maka kesepakatan tetap dibuat oleh kedua penjajah tadi. Nimrod (32), Kepala Dusun Paup Desa Siding dan Jihim (54) juga mengatakan kalau patok awal memang berada di tengah Kampung Gumbang. Kata Jihim, yang bersekolah SD di Gumbang sejak 1960-1963, dia pernah melihat sendiri dan diberitahu gurunya, Aseng bahwa patok yang dibangun Belanda dan Inggris terletak di Kampung Gumbang. Warga Siding yang belanja di Gumbang juga menemukan bukti itu.

Di dinding rumah Pak Acong (warga Gumbang) bagian dalam, ada tulisan larangan masuk karena merupakan kawasan Indonesia. Tulisan itu berwarna merah dan dipasang sebagai tanda agar warga Gumbang tidak melanggar kawasan Indonesia. Menurut warga, tulisan itu sengaja dipindah dan seolah-olah disembunyikan agar warga Indonesia tidak tahu bahwa sebagian dari kawasan itu sebenarnya milik Indonesia yang telah dicaplok. Bagaimana tanggapan warga Siding atas hal itu?

Sebagian besar menyikapinya dengan dingin. Alasan mereka, patok itu digeser ketika mereka belum lahir. Selain itu, mereka menyadari keterbatasannya dan tak ingin cari masalah. “Sampai di mana sih kemampuan kita, lebih baik tidak usah. Nanti khan ada dari pemerintah yang datang mengurusnya,” kata Asmudin. Namun pada dasarnya, warga Siding tetap keberatan soal penggeseran patok tersebut. Jika saja penggeseran itu dilakukan saat ini dan sepengetahuan warga, mereka jelas akan menolak. “Itu harus kita pertahankan,” tegasnya.

Meski memiliki ibu warga Malaysia, rasa nasionalismenya tetap tinggi. Camat Siding, B Petrus Diaz STP juga mengakui bahwa masyarakatnya tidak terlalu mempermasalahkan penggeseran patok tersebut. Salah satu penyebabnya adalah hubungan dan ketergantungan dengan warga Gumbang yang masih tinggi. Hal itu membuat warga serba salah. Tapi, sebagai aparat pemerintah, dia tetap memandangnya dari aspek NKRI. Dia juga meyakini bahwa patok awal memang berada di Kampung Gumbang, bukan Batu Aum.

Karena itu, dia menyampaikan laporan tertulis 7 Pebruari lalu ke Bupati Bengkayang. Laporannya kemudian diteruskan ke Gubernur Kalbar dan ditindaklanjuti ke pusat. Baginya, penggeseran patok ini jelas-jelas merugikan masyarakat Siding. "Lahan Siding akan berkurang. Saat ini memang belum terasa, tapi sekian tahun kedepan akan timbul masalah. Anak cucu kita akan kehabisan lahan," katanya.

Sebagai solusi, dia menyarankan agar pemerintah baik daerah maupun pusat dapat membuka isolasi daerah. Bagaimana agar wajah Siding paling tidak sama dengan kecamatan lain. Dengan demikian, ketergantungan masyarakat dengan negeri jiran dapat dikurangi secara perlahan. Selain itu, pos-pos penjagaan juga dinilainya perlu agar penggeseran patok tidak terjadi lagi. Dari aspek pertahanan, dia berharap pemerintah mengadakan program transmigrasi di kawasan-kawasan sekitar perbatasan.

“Daripada tanahnya tadi tidak bertuan,” tukasnya. Petrus berpendapat, jika banyak penduduk di kawasan perbatasan, warga jiran takkan berani mencaplok wilayah Indonesia. Sementara itu, Dandim 1202/Singkawang, Letkol Inf Putro Lelono menyarankan agar instansi terkait dari kedua negara datang ke lokasi untuk menentukan di mana letak koordinat patok yang benar. Sebab, referensi adat dinilainya tidak dapat dijadikan acuan yang punya kekuatan hukum.

"Mereka (masyarakat Siding dan Gumbang) punya adat, mereka biasa menyelesaikan masalah dengan musyawarah adat, tapi itu tidak bisa kita jadikan referensi," tegas dia. "Yang bisa adalah kesepakatan antara kedua negara ini". Solusi ini menurutnya sudah pernah ditempuh ketika menyelesaikan masalah serupa di Desa Aruk Kecamatan Sajingan Besar Kabupaten Sambas, 21 Pebruari lalu. Ketika itu, kesepakatan dibuat antara Muspida Sambas, Dinas Topografi Pusat dan pihak Malaysia.

Setelah ada kesepakatan dalam penentuan titik nol tersebut, lanjut dia, pihak Malaysia konsisten melaksanakannya. "Ada bangunan Malaysia yang ternyata masuk ke kawasan Indonesia disegel oleh petugasnya dan tidak dibolehkan beroperasi lagi. Kita harapkan di sini juga demikian," timpalnya. Dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, menurutnya Dinas Topografi Pusat juga pernah melaksanakan operasi perbatasan 2004 lalu. Operasi tersebut dilaksanakan di Putussibau.

"Mereka tiga sampai empat bulan di sana dan sekarang masalah patok di sana sudah bagus". Diharapkan tahun depan, operasi yang sama juga dilaksanakan di kawasan Kodim 1202 (Sambas, Singkawang dan Bengkayang).(habis)

Tidak ada komentar: