Sabtu, 09 Februari 2008

Sepenggal Kisah Konfrontasi dengan Malaysia


Dimuat Pontianak Post Rabu, 9 Maret 2005

Tiga Rekan Seperjuangan Tewas di Jagoibabang
Ganyang Malaysia; Ketika RI Konfrontasi dengan Malaysia -1-

Tubuh boleh renta dan sakit-sakitan, namun kobaran semangatnya seolah tak pernah padam. Sebagai mantan Pejuang Dwikora, gurat-gurat keperkasaan dan tak kenal takut masih terlihat di wajahnya. "Kalau Tentara Diraja Malaysia, itu seperti krupuk bagi saya," katanya garang.

Laporan Uray Ronald, Singkawang

GATOT Sandjoyo (77) tengah duduk tak berbaju di kursi tamu rumahnya, kemarin siang. Dia tinggal di sepetak rumah sederhana Kompleks Perumnas Roban Singkawang. Ada warung nasi di halamannya. Dengan sunggingan senyum Pak Gatot menyambut kehadiran Pontianak Post. Menurut beberapa mantan perwira di Singkawang, dia adalah salah satu pejuang yang terjun langsung ke perbatasan Indonesia-Malaysia di zaman konfrontasi.

Dia juga salah satu ekponen Angkatan '45. Setelah berbasa-basi sejenak, sebuah kopor coklat, tua dan sedikit berdebu dikeluarkan dari laci lemarinya. Berbagai jenis dokumen bersejarah lalu dia keluarkan. SK-SK yang diterima semasa bertugas, piagam penghargaan dan ada sebuah medali. Sambil membolak-balik dokumen, Gatot Sandjoyo mulai bertutur. Dia dilantik menjadi Komandan Kompi Pasukan Sukarela Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) Jumat 11 Oktober 1963.

Pelantikannya dilangsungkan di lapangan helikopter Singkawang dan disaksikan Danrem 121 Letkol Soegiyono. Dia lalu menunjukkan lembaran "Berita Atjara Timbang Terima" yang dilampiri daftar senjata, peluru dan nama 150 anggota kompi sebagai bukti. Mulai saat itu dia bertugas. Secara rahasia, di mess A dekat PLN Singkawang, Kolonel Ryacudu memerintahkannya untuk memimpin Kompi I Pasukan Sukarela. Kompi ini bertugas mendirikan Batalyon I operasi basis di antara Serikin dan Bauk.

Kompinya juga bertanggungjawab untuk mengibarkan bendera merah putih hijau (segitiga hijau) di Kalimantan Utara (Kalut). Tambahan segitiga berwarna hijau ini hanya bersifat sementara. Jika operasi berhasil, segitiga hijau akan dihilangkan dan yang tersisa hanya merah putih. "Tugas utama kami bukan tugas tempur. Saya jadi sempat bingung juga, kalau bukan tugas tempur kenapa kami dibekali bedil," katanya.

Pasukan yang dikhususkan untuk bertempur menurutnya adalah RPKAD. Inti dari tugas kompinya adalah memprovokasi warga setempat untuk melawan Inggris dan mendirikan Kalut. Malaysia, saat itu memang dibantu tentara Inggris. "Jadi, kami diperintahkan masuk ke Kalut dan mendirikan operasi basis di sana. Kami membangkitkan semangat pemberontakan warga. Batalyonnya bernama Kobra," jelasnya.

Berdasarkan laporan intelijen, dukungan warga Kalut untuk melawan Inggris cukup besar. "Foto Sukarno juga banyak orang sana yang nyimpan," ungkapnya. Di awal tugasnya, Gatot Sandjoyo mengaku sedikit pusing. Soalnya, di kawasan perbatasan hanya ada I Kompi yang beroperasi yaitu Kompi Gatot. "Diponegoro dan Siliwangi belum ada. Peluru pertama yang meletus di sekitar Jagoi Babang adalah peluru dari Kompi Gatot. Setelah itu, baru dari Diponegoro, Siliwangi dan RPKAD," tuturnya.

Meski tanpa dibayar, dia dan anak buahnya nekat memasuki kawasan musuh. Begitu masuk, tiga rekan sekompinya tewas ditembus timah panas. Ketiganya dimakamkan di Jagoi Babang dengan upacara yang sederhana. "Maksud saya, kalau sudah aman, mereka akan saya pindahkan ke taman makam pahlawan," katanya lirih. Perjuangan terus mereka lanjutkan, keluar masuk belantara Kalimantan yang ketika itu masih sangat lebat. Menurutnya, saat itu Tentara Diraja Malaysia samasekali tidak ditakuti. Musuh yang disegani adalah Inggris.

Sedangkan TNI AD, saat itu juga sedang dalam masa keemasan. Kabarnya, TNI AD adalah yang terkuat di Asia Tenggara. "Kalau Tentara Diraja Malaysia, itu seperti krupuk bagi saya. Tapi Inggris, senjatanya lengkap, ada teropong dan lainnya. Mereka sudah pakai helicopter, saya masih pake sampan," ujarnya. (bersambung)

Tidak ada komentar: