Sabtu, 09 Februari 2008

Sepenggal Kisah Konfrontasi dengan Malaysia

Dimuat Pontianak Post Kamis, 10 Maret 2005

Ganyang Malaysia: Ketika RI Konfrontasi Dengan Malaysia -2-
Sempat Jadi Target Mati Pasukan Iban

Dengan melanggar isi perjanjian Manila, Malaysia memperkeruh suasana. Presiden Sukarno gerah, ia lalu memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur. Gerakan bawah tanah dilancarkan. Kompi I yang dipimpin Gatot Sandjoyo (77) terlibat di dalamnya.

Laporan Uray Ronald, Singkawang

SEBAGAIMANA dilansir 30 Tahun Indonesia Merdeka, rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia sebenarnya mulai menggelinding 1961. Presiden Sukarno menentangnya dengan keras. Sukarno menganggap ini sebagai Proyek Neokolonialisme (Nekolim) Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Di lain pihak, Sukarno justru menyokong berdirinya Negara Kesatuan Kalimantan Utara yang diproklamirkan di Manila oleh AM Azhari, seorang penduduk Brunei.

Selain Indonesia, pembentukan negara Malaysia juga ditentang Philipina. Sebab, secara historis dan yuridis, Sabah adalah milik Sultan Sulu yang disewakan pada Inggris. Akibatnya, ketiga negara bersitegang. Serangkaian pertemuan digelar untuk mencairkannya dan hampir berhasil. Namun ketegangan kembali meruncing ketika 9 Juli 1963, PM Malaysia Tengku Abdul Rahman menandatangani MoU dengan Inggris di London.

Mereka berencana membentuk Federasi Malaysia 31 Agustus 1963. Tak ingin perang, upaya diplomasi kembali ditempuh ketiga negara. Sejak Juli hingga Agustus 1963, dilangsungkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Manila. Tiga dokumen dihasilkan dari KTT ini, Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan Komunike Bersama. Mengenai pembentukan Federasi Malaysia, ketiga negara sepakat untuk meminta PBB menyelidiki keinginan rakyat di daerah yang disengketakan.

Indonesia dan Filipina menyatakan akan menerima jika pembentukan Federasi Malaysia adalah pilihan rakyat setempat. Dari hasil kesepakatan itulah Sekjen PBB U Thant membentuk tim khusus untuk survey kehendak rakyat Sabah dan Sarawak. Tim ini dipimpin Michelmore seorang diplomat AS. Agustus 1963, misi tersebutpun dimulai. Namun, sebelum PBB secara resmi mengumumkan hasil investigasinya, Federasi Malaysia telah terbentuk 16 September 1963.

Indonesia kembali menentangnya dengan keras karena dianggap melanggar perjanjian Manila. Indonesia kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur sehari setelahnya. Kata Gatot Sandjoyo, tak lama setelah itu, pemerintahan bayangan Kalimantan Utara dibentuk. Serangkaian gerakan bawah tanah untuk mewujudkan Kalut mulai mengalir. Bagaimana bentuk gerakan bawah tanah itu?

"Saya hanya prajurit, bukan orang politik, boleh dibuka nggak nih. Ini rahasia atau bukan?" Gatot balik bertanya. Komandan Kompi Pasukan Sukarela Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) itu sempat ragu. Namun, akhirnya ia bersedia juga membeberkan rahasia yang selama ini dipendamnya sendiri. Menurutnya, pemerintahan bayangan Kalimantan Utara Perdana Menterinya adalah Azahari dari Brunei dan Menteri Pertahanannya Zaidi alias Sulaiman, warga Kuching Sarawak. "Kalau saya, TNKU," tukasnya.

Zaidi (Sulaiman), kata Gatot, adalah orang Sarawak yang mendapat pendidikan politik dari Ali Murtopo. Sementara Ali Murtopo adalah hasil didikan Bung Karno. Secara politik, Zaidi dibesarkan secara politik di Indonesia. "Waktu konfrontasi, Zaidi di Singkawang, Pontianak dan Jawa. Setelah konfrontasi selesai, dia kembali ke Kuching," jelas putra Jogja ini. Ternyata, Zaidi alias Sulaiman inilah yang menurut Gatot, setelah konfrontasi selesai justru membelot dari Indonesia dan menjadi Gubernur Sarawak Pertama.

Sekitar bulan Oktober atau September (Gatot lupa kapan pastinya), Menteri Pertahanan Kalimantan Utara, Zaidi tersebut duduk semeja dengannya di markas. Rumah mertuanya yang terletak di Kampung Baru Singkawang itulah yang menjadi markas. Zaidi, berhasil disusupkan dari Kuching oleh intel di bawah pimpinan Suyono. "Mereka lewat laut, Yono (Suyono) atas perintah Nasution dan Nasution atas perintah Sukarno. Mau dirikan Kalimantan Utara," bisiknya.

Berdasarkan perundingan antara dia dengan Zaidi, satu pleton di bawah pimpinannya lengkap dengan senjata diserahkan ke Suhaili, Tokoh Sibu. Suhaili ditugaskan untuk mengembangkan satu pleton tersebut menjadi satu kompi. Suhaili berhasil menyusup, tapi dalam perjuangannya dia ditangkap berikut pletonnya. Dalam gerakan bawah tanah itu, Presiden Sukarno juga merangkul warga dari etnis Dayak Iban.

"Orang Iban dikasih senjata dan perlengkapan, mereka digerakkan lewat Panglima Dagang (namanya Dagang, tokoh Dayak setempat), dari Bumbung untuk melawan Inggris," katanya. Namun, sebagian orang Iban yang lain juga dimanfaatkan Inggris untuk bertempur melawan pihak Indonesia. "Inggris pintar. Iban dikasih daging dan rokok oleh Inggris lalu disuruh melawan Indonesia," ungkapnya.

Saat itu, rimba Kalimantan masih begitu lebat dan ganas. Maklum tahun 1963. Tradisi "Ngayau" (memotong kepala musuh) oleh Iban masih marak. Bahkan, Sanjoyo pernah jadi "wanted dead" pasukan Iban yang ditunggangi Inggris tadi. Dia adalah target pertama dan Panglima Dagang target kedua. Siapa yang berhasil memenggal kepala keduanya akan mendapat imbalan ringgit. "Ini disiarkan oleh radio Malaysia, seluruh orang di perbatasan dengar," kata Gatot dengan nada tinggi, semangatnya bangkit.

Namun Kolonel Ryacudu (ayah Ryamizaard Ryacudu), pimpinannya, juga tak kalah akal. Gatot diperintahkan untuk memimpin kompi karena punya pengawal yang berkemampuan khusus. "Pengawal saya rata-rata anak muda dari Jatim, mantan gerilyawan saat menghadapi Belanda, Jepang dan Inggris. Ngerti ilmu pelangkahan, sirep, bagaimana orang supaya tidur dan nasinya bisa dicuri. Anjing jangan sampai ngonggong, dia juga ngerti. Yang paling berat, tapi waktu itu sangat perlu adalah ilmu halimunan, bisa tidak nampak," bebernya.

Ilmu khusus itu bukan untuk Inggris tapi untuk orang Iban. Iban dikenal cukup sakti. Orang asli pedalaman Kalimantan itu berkeliaran di dalam hutan tanpa sepatu dan bersenjatakan sumpit beracun. "Ketika mereka berjalan di dalam hutan lebat, daun pun tak bergerak, samasekali tak bersuara. Itu yang paling saya ngeri. Bukan Inggris, apalagi Tentara Diraja," katanya. "Kalau Inggris dan sekutu, intelijennya memang terkenal. Mereka juga menang perang dunia kedua.

Tentara Diraja, di mana sejarahnya dia, waktu patroli, habis makanan saja dia pulang." Perjuangan terus dilanjutkan, banyak prajurit yang meninggal di kedua pihak. Jenazah-jenazah patriot bangsa terus berdatangan ke Singkawang. Mereka berasal dari Kompi Diponegoro, Siliwangi, RPKAD dan lainnya. Rata-rata dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing Singkawang.

Tanggal 3 Mei 1964, Presiden Sukarno memberikan komando pengganyangan Malaysia yang dikenal sebagai Dwikora (Dua Komando Rakyat) dalam pidatonya di depan Apel Besar Sukarelawan di Jakarta. Dwikora berisi, perhebat ketahanan revolusi dan bantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah dan Brunei untuk menggagalkan Negara Boneka Malaysia. Konfrontasi terhadap Malaysia terus bergulir hingga 1966. Bagaimana jika kita perang lagi dengan Malaysia? Secara fisik, katanya, dia tak mungkin lagi ikut bertempur. Namun secara moral, naluri nasionalisme dan patriotisme senantiasa bicara.

"Siapapun yang mengganggu keutuhan dan kedaulatan NKRI dan merobek-robek bendera merah putih, jelas kita hadapi," tegasnya berapi-api. "Leluhur kitapun dulu berjuang menumpas habis penjajahan. Yang penting siapapun, pokoknya kita hadapi. Nasionalisme, patriotisme, Bung Tomo kecil, Ngurah Rai kecil, bangkitkan itu, bangkit!!! Pak Bambang (SBY), masih diam. Jangan main-main Malaysia, fakta sejarah sudah cukup. Bung Karno waktu itu masih sabar dan Pak Bambang sekarang ini masih diam. Dia sih tidak apa-apa, tapi yang di belakangnya?" (*)

Tidak ada komentar: