Minggu, 22 Juni 2008

Di Balik Kesaktian-nya, Tatung juga Manusia

Pria berpakaian serba hijau itu mendelikkan mata. Sebilah golok dia iris-iriskan ke lengan dan lehernya. Sesekali dia juga menusuk-nusukkan tombak ke perutnya atau berdiri di atas paku-paku yang runcing. Ajaib, tak sedikit goresan pun tertinggal di kulitnya. Ketika dirasuki roh halus, A Sang (26) yang menjadi tatung dalam Cap Go Meh 2008, Kamis (21/2) di Kota Singkawang memang sakti. Tetapi di balik itu, dia juga manusia biasa.



Keesokan harinya, A Sang terlihat beda. Dengan baju kaos hitam dan celana kuning dia duduk santai di teras rumahnya Jalan GM Situt Gang Bhakti. Pria lajang itu jauh dari kesan beringas. Malah, dia sangat ramah menyambut beberapa wartawan yang datang. Suasana memang beda. Tak ada lagi aroma gaharu yang memancarkan nuansa mistis seperti ketika Cap Go Meh digelar sehari sebelumnya. Di dalam rumahnya, tampak sebuah altar tempat pemujaan dewa-dewa.

Sementara di halaman rumah, tampak sebuah tandu tatung dan tandu miniatur kelenteng bekas atraksi masih terpajang. A Sang jadi tatung sejak tahun 1996 lalu, yaitu ketika dia masih duduk di bangku SMP. "Waktu itu saya seperti orang gila. Antara percaya dan tidak," katanya. Roh halus mulai memasuki tubuhnya ketika dia iseng-iseng bermain jaelangkung.

"Rohnya tidak mau pergi meskipun keranjang jaelangkung sudah saya tendang. Sebagai gantinya dia merasuki tubuh saya. Sejak itulah saya jadi tatung," tuturnya. Menjadi tatung bukanlah kemauannya pribadi tetapi sudah menjadi suratan takdir dan tak terelakkan lagi. Ayahnya yang kini bermukim di Jakarta juga adalah seorang tatung. "Sulit juga kalau kita bicara suka atau tidak suka menjadi tatung," sambungnya.

Satu hal yang jelas, kata A Sang, menjadi tatung itu serba salah. Kadang-kadang, jalan hidupnya tergantung pada kemauan roh yang biasa merasukinya. "Mau buka toko pun tak bisa lama. Kadang-kadang kalau ada orang sakit dan kita sedang malas menolong, kita bisa dihukumnya". Tetapi di sisi lain, adapula orang yang sangat ingin menjadi tatung tetapi tidak bisa karena memang bukan takdirnya.

A Sang sebetulnya tinggal di Jakarta. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, di sana dia bekerja di sebuah perusahaan sablon. Sempat pula dia merantau ke Batam dan bekerja sebagai sales. Sejak akhir Januari lalu dia pulang ke Kota Singkawang berkumpul bersama keluarga, khusus untuk merayakan Imlek dan ingin memeriahkan Cap Go Meh. Setiap tahun dia selalu ikut Cap Go Meh. Bahkan tahun lalu, sebaris luka menghiasi perutnya saat beratraksi menjadi tatung.

"Waktu itu saya dapat 8 jahitan di perut. Ini bekasnya," kata dia sembari menunjukkan bekas luka tersebut. Luka itu terjadi menurutnya karena ketika itu dia dalam keadaan yang kurang suci. "Seharusnya saya puasa dulu selama lima hari sebelum atraksi," ungkapnya. Puasa yang dimaksudkannya yakni tidak memakan daging atau yang berdarah alias menjadi vegetarian.

Tahun ini, Asang tidak mengalami luka karena telah menjalani prosesi tersebut dengan disiplin. Dengan demikian, roh halus yang biasa dipanggilnya guru betah menghuni jasadnya. Menurut A Sang, roh halus yang merasukinya adalah seorang Pangeran dari Negeri Tiongkok di Zaman Dinasti Han. Roh tersebut baru akan datang jika dipanggil dengan menggunakan ritual tertentu (memasang gaharu, lilin dan mantra-mantra), kecuali kalau ada kondisi darurat misalnya ketika akan ada musibah di lingkungan keluarga dan lain-lain.

Ketika Cap Go Meh 2008, A Sang mengaku telah menerima uang santunan dari panitia sebesar Rp2,5 juta. Apakah uang itu cukup? Ternyata dia masih "nombok". "Kebutuhan untuk uang makan, bendera, bahan sesajian, upah pemikul tandu dan lain-lain masih lebih besar. Tidak apa-apa, nombok sedikit tidak masalah," katanya. Kepuasan batin dalam memeriahkan Cap Go Meh dinilai jauh lebih penting. Tetapi jika ke depan panitia bisa menambah jumlah santunan untuk para tatung, menurutnya itu akan lebih baik lagi.

A Sang sejauh ini belum punya rencana untuk menikah. Dia juga tidak punya target khusus untuk itu. "Tergantung jodohnya kapan," ujarnya seraya tersenyum.

Hasanto (30) alias A Khoi, seorang tatung yang tinggal tak jauh dari kediaman A Sang lain lagi ceritanya. Sejak 9 tahun lalu dia sudah menjadi tatung. Roh yang biasa merasukinya bernama Datuk Iban. Secara pribadi sebenarnya A Khoi kurang suka menjadi tatung. "Menjadi tatung itu tak ada untungnya," kata dia. Sehari-hari, pria lima anak itu mencari nafkah dengan menjadi seorang sales.

Di keluarganya, ada 7 orang yang menjadi tatung termasuk ayah beserta lima saudara laki-lakinya yang lain (12 kakak beradik). Ketika Cap Go Meh 2008, ketujuh tatung tersebut ikut turun ke jalan, berpartisipasi memeriahkan Cap Go Meh. Bahkan, satu adiknya, A Lip (18) menderita luka saat atraksi karena pemikul tandunya tak mampu menjaga keseimbangan. Tandu miring dan tumbang sehingga A Lip pun terjatuh. A Lip menjadi tatung sejak usia 14 tahun. Meski kali ini dia menderita luka, A Lip mengaku tidak jera. Dia masih ingin ikut dalam Cap Go Meh tahun depan.

Cerita Phang Phen Jung (50), tatung yang tinggal di Pakunam Singkawang Selatan juga mirip. Sehari-hari, A Jung yang sudah dikaruniai empat anak ini bekerja sebagai tukang. Kadang-kadang dia juga mengobati orang sakit. "Saya tidak pandai mengobati tetapi roh yang merasuki saya yang pandai," ujar laki-laki yang menjadi tatung sejak usia 19 tahun itu.

Jasa mengobati orang ini tidak ditentukan tarifnya, tergantung kerelaan hati dari pihak yang berobat. Keempat anaknya semua perempuan dan tak satu pun yang menjadi tatung. "Mungkin cucu saya nanti yang bisa jadi tatung," tambahnya. Sementara menurut Freddy (28), rekannya sesama tatung, ada anggapan bahwa menjadi tatung itu tidak bisa kaya. Bahkan jika melihat kenyataan di lapangan, menurutnya 80 persen tatung memang tidak hidup bergelimang harta. "Menjadi tatung itu bukan untuk menjadi kaya. Tatung ada untuk menjadi penyelamat," katanya.

Sehari-hari, Freddy berprofesi sebagai seorang pendeta bosang (pendeta Budha yang mengantar jenazah di pemakaman). Menjadi tatung baginya bukan persoalan suka atau tidak suka tetapi sudah menjadi suratan takdir dan harus dijalani. "Kita tidak tahu, roh yang mencari dan memilih siapa yang dinilainya bisa menjadi tatung," ujar pria yang pernah berkeluarga tetapi sudah cerai ini. Di keluarganya, hanya Freddy yang menjadi tatung.

Meskipun jadi tatung tidak menjanjikan kesejahteraan tetapi Freddy tetap menikmatinya. Pria ini juga biasa mengobati orang sakit. "Kalau mengobati orang, biasanya tatung memang diberi angpao. Besarnya tergantung keikhlasan. Bahkan ada tatung yang dibelikan rumah oleh pasien-nya yang kebetulan kaya raya," ungkapnya.(*)


Tidak ada komentar: