Minggu, 22 Juni 2008

Menengok Seni Budaya Tahar atau Hadrah

Main di Kuala Bisa Terdengar sampai Sekip

Beberapa waktu lalu, seni budaya tahar atau hadrah bergema dengan nyaring di Kota Singkawang melalui Atraksi 1000 Tahar. Seni budaya lama yang mulai tergerus waktu itu pun kembali mencuat ke permukaan. Tahar menjadi topik perbincangan warga. Dari mana sebetulnya seni budaya tersebut datang dan bagaimana perkembangannya di kota seribu kelenteng ini?

Uray Ronald, Singkawang

Muchlis Wagiman (68), seorang praktisi senior kesenian hadrah mengatakan, tahar adalah nama satu jenis alat musik sedangkan hadrah ialah jenis kesenian yang menggunaan tahar. Kesenian ini sangat kental bernuansa Islam dan diprediksi muncul pertama kali dari Timur Tengah yang kemudian menyebar ke berbagai daerah seiring dengan penyebaran Islam.

Menurut Muchlis, sangat sulit untuk memastikan dari mana dan kapan seni budaya ini datang ke Singkawang, apakah berasal dari Brunei atau Malaka (Malaysia). Satu hal yang jelas, bentuk tahar di daerah ini persis sama dengan tahar dari kedua daerah tersebut. Jika ditilik dari irama lagu yang dilantunkan, lagu-lagu hadrah yang biasa dimainkan di sini pun dipandang tidak asli dari Timur Tengah melainkan sudah dipengaruhi oleh budaya Asia (melayu).

“Irama lagunya ada yang terdengar seperti senandung, tetapi syairnya tetap,” katanya yang ditemui di kediamannya Gang Turi Kelurahan Sekip Lama, beberapa waktu lalu. Alat musik tahar bentuknya mirip rebana. Perbedaannya, tahar memiliki giring-giring. Menurut Muchlis, sebetulnya ada ukuran standar untuk alat musik ini. Namun seiring waktu, muncul kreasi baru sehingga ukurannya pun jadi beragam. Ada yang agak besar dan ada pula yang kecil. “Kalau yang kecil, biasanya disebut orang dengan nama keluntong,” ujar dia.

Tahar terdiri dari tiga komponen yaitu giring-giring yang menimbulkan bunyi gemerincing sebanyak tiga pasang, tabang (kayu untuk pegangan atau pinggiran tahar) dan sanggit (bagian yang dipukul terbuat dari kulit). Giring-giring yang berkualitas bagus terbuat dari tembaga murni. Dalam hal ini, giring-giring buatan Palembang dinilai menjadi yang paling baik.
“Kalau menggunakan giring-giring yang asli, gemanya bisa terdengar sampai jauh. Kalau dulu, orang main tahar di Kuala, kita di Sekip juga bisa mendengar suara giring-giringnya,” kata pria tujuh anak itu.

Untuk tabang, bahan yang terbaik yaitu terbuat dari kayu laban (Vitex pubescens) atau batang nangka (Arthocarpus sp). Sedangkan untuk sanggit, biasanya terbuat dari kulit kambing atau kulit sapi. Bahan dasar dari kulit sapi adalah yang paling baik karena bisa menimbulkan suara yang lebih bergema.

“Ada juga yang menggunakan kulit ikan pari, tetapi tahar yang berbahan ini agak tajam sehingga tak jarang orang luka ketika memainkannya,” urai Muchlis yang pernah menjadi guru kesenian hadrah ini. Membuat alat musik tahar juga cukup sulit dan memerlukan keterampilan khusus karena harus memperhatikan tebal tipisnya sanggit dan tabang. “Tebal tipisnya harus sama supaya bunyi yang dihasilkan menjadi merdu,” katanya. Mengingat sulitnya membuat tahar inilah sehingga kebanyakan orang lebih memilih membeli atau meminta dibuatkan oleh “tukang”. Di Kota Singkawang, pembuat tahar masih bisa dijumpai terutama di kawasan Singkawang Utara.

Kesenian hadrah juga memiliki irama pukulan tertentu, tidak sembarangan. Mengenai irama pukulan ini, sambung Muchlis, setiap daerah berbeda-beda. Di Sambas punya ciri khas tersendiri, begitu pula dengan Kota Pontianak. Di Kota Pontianak atau Mempawah, tahar biasa disebut dengan nama “tar”. Khusus untuk di Kota Singkawang, irama pukulan tahar cenderung lebih dipengaruhi oleh irama pukulan dari Kota Pontianak.

“Kita tidak tahu pasti mengapa begitu. Ini terkait dengan siapa guru yang pertama kali mengenalkannya di Kota Singkawang yang mungkin berasal dari Kota Pontianak,” ujar pensiunan PNS Pemda Sambas itu. Kesenian hadrah biasanya dimainkan secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga orang yang disebut dengan nama induk (pokok), anak 1 dan anak 2. Masing-masing punya irama pukulan yang berlainan.

“Pukulan untuk induk lebih sederhana dan relatif lambat. Anak 1 lebih rumit dan cepat. Sementara anak 2 lebih rumit dan lebih cepat lagi dari anak 1,” jelasnya. Pukulan induk lebih lambat sehingga memungkinkan pukulan anak 1 dan anak 2 mengisi “celah” kekosongan yang timbul. Dengan demikian, terbentuk suatu keharmonisan yang enak didengar ketika dimainkan. Meskipun pukulan induk lebih sederhana dan lambat, tetapi pemukul induk biasanya harus lebih menguasai teknik-teknik pukulan karena induk merupakan pokok dan harus bisa menetralisir serta memandu pukulan anak 1 dan anak 2.

Seseorang yang akan tampil dalam suatu majelis hadrah, setidaknya harus menguasai tiga tingkatan pukulan tahar yakni habban (pukulan dasar pembuka), kotong dan meraddeh yang tempo-nya semakin cepat. Ada pula jenis pukulan tahar lain yang lebih rumit dan sangat cepat yang disebut dengan nama tahtim (seni penutup). Masih ada banyak jenis pukulan lain yang membutuhkan bakat, keseriusan dan kesabaran yang tinggi jika ingin menguasainya dengan baik.

Selain memiliki irama pukulan yang beraneka ragam, kesenian hadrah atau tahar juga memiliki lagu yang berbagai jenis dan sudah baku. Sedikitnya ada puluhan jenis lagu yan, dikenal di sini. Lagu-lagu tersebut terdapat dalam sebuah buku yang dijual di pasaran. Semuanya berisikan puji-pujian kepada Rasululullah SAW dan sahabat-sahabatnya.

“Ada buku yang diterbitkan oleh salah satu penerbit, khusus berisikan lagu-lagu hadrah. Bukunya bisa dibeli di toko buku,” ujar Muchlis Wagiman (68), seorang praktisi senior kesenian hadrah. Berdasarkan pengalamannya, tahap pertama dalam mempelajari kesenian ini biasanya adalah menghafal lagu-lagu yang sederhana. Setelah itu, baru diikuti dengan mempelajari irama pukulan.

“Kalau dulu, kami belajar tidak langsung menggunakan tahar tetapi belajar dengan memukul-mukul meja. Ada dua kode bunyi untuk menunjukkan pukulan, bunyi ‘cang’ untuk pukulan di pinggir tahar dan bunyi ‘dung’ untuk di tengahnya,” kata pria yang belajar tahar sejak kecil itu. Di tahun 50-60an, tambah dia, kesenian hadrah selalu dimainkan setiap mengarak pengantin keliling kampung. Posisi pemain tahar diletakkan di depan barisan, diikuti pengantin, baru kemudian tanjidor. “Sekarang posisinya malah terbalik,” ujarnya.

Kesenian ini juga dimainkan ketika acara khitanan atau menyambut orang yang baru pulang dari menjalankan ibadah haji. Ketika itu, kepandaian seseorang memainkan kesenian hadrah juga menjadi simbol gengsi yang cukup prestisius. Siapa pun yang terampil, maka dia akan “dipandang” orang. Tak heran jika minat untuk mempelajarinya juga tinggi. Kelompok pemain tahar selalu ada di setiap kampung.

Namun, mulai tahun 1966, “gaung” kesenian hadrah atau tahar kian memudar. Tidak diketahui pasti apa yang menjadi penyebabnya. “Jika dikatakan karena banyak jenis-jenis musik lain, di tahun 50-an pun banyak juga,” katanya. Sekarang, jumlah peminatnya pun semakin menciut. Syukur-syukur tidak punah. Rata-rata pemain tahar yang masih ada, usianya sudah tidak muda lagi. Di Kota Singkawang, kelompok tahar yang masih aktif dan terus melakukan regenerasi antara lain di Kuala dan Bukit Batu.

Secara pribadi, Muchlis juga pernah menjadi guru tahar dan memiliki banyak murid. Sayangnya, dari sekian banyak muridnya, hanya segelintir yang “jadi”. Berdasarkan pengalamannya, di samping menuntut adanya minat dan bakat yang tinggi, metode pengajaran untuk kesenian hadrah juga sangat sulit. “Saya pernah coba sistem kursus dan sistem seperti pengajaran di sekolah, tetapi sulit sekali. Kalau dalam tahap menghafal lagu, memang banyak yang bisa.
Tetapi, setelah menyelaraskan dengan irama pukulan, itu yang susah. Memang perlu kesabaran,” ujar dia.

Untuk melestarikan seni budaya ini, menurutnya perlu ada gerakan bersama antara para ahli hadrah dan sepuh-sepuh serta didukung oleh pemerintah. Tanpa ada kerjasama, tekad dan keseriusan dari komponen-komponen ini, dia pesimistis upaya pelestarian akan berhasil. “Sekarang, ulama saja tidak peduli dengan seni budaya ini, apalagi pemerintah,” katanya. Muchlis mengakui, festival tahar pernah diadakan di Kota Singkawang. Upaya itu dinilai positif. Namun, festival tentunya harus diawali dengan adanya pembinaan-pembinaan. Bagaimana mau ikut festival, jika memainkan tahar saja tidak bisa?

Mengenai zikir nazam atau “syrakal”, menurutnya itu berbeda dengan hadrah. “Yang dipakai syrakal bukan tahar. Malah, dulu orang syrakal tidak pakai gendang atau rebana. Sejak tahun 80-an baru itu digunakan. Jadi, itu adalah kreasi baru,” jelasnya. Terkait dengan atraksi 1000 tahar yang dimainkan saat pembukaan MTQ XXII Kalbar beberapa waktu lalu, Muchlis memberikan apresiasi yang tinggi. Secara jujur dia menyatakan kagum.

Soalnya, atraksi tersebut dipandang telah mengangkat kembali khazanah budaya asli yang hampir punah. Dengan adanya atraksi 1000 tahar, diharapkan generasi muda di Kota Singkawang dapat lebih berminat untuk mempelajarinya.(*)


Tidak ada komentar: