Sabtu, 19 Juli 2008

MJ Mooridjan, Murid Ki Hajar Dewantara

Pernah Menghadiahi Lukisan, selalu Dipanggil “Si Yakin”

Beberapa hari lalu, tepatnya 2 Mei 2008, masyarakat Indonesia kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional. Hari itu diperingati karena pada tanggal itulah lahir seorang pejuang besar Ki Hadjar Dewantara yang mendarmabaktikan seluruh hidupnya bagi kemajuan bangsa dan negara melalui bidang pendidikan. Di Kota Singkawang, ternyata masih ada satu orang yang pernah menjadi murid Ki Hajar Dewantara ketika belajar di Taman Siswa. Dialah MJ Mooridjan (75).

Uray Ronald, Singkawang

Nama MJ Mooridjan sepertinya sudah tidak terlalu asing di telinga warga Singkawang. Soalnya, MJ Mooridjan sudah empat puluh tahun tinggal di Kota Singkawang. Dia pernah menjadi guru seminari di Nyarumkop, menjadi Anggota DPRD Kabupaten Sambas tahun 70-an dan pada akhir 1990-an dari Partai Golkar. Namanya pun kerap muncul di media massa. Pria ini memang getol mengirimkan tulisan-tulisan yang membahas tentang pendidikan, kebudayaan dan permasalahan sosial masyarakat lainnya.

Selama hidupnya, pria yang dikaruniai enam anak ini memang mendarmabaktikan sebagian besar hidupnya bagi dunia pendidikan. Di samping menjadi guru, dia pun merupakan salah satu pendiri SMA Ignatius dan pernah berkiprah di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sambas. Selain itu, di masa pensiunnya, dia aktif mengarang dan menerbitkan buku. Kebanyakan bertemakan pendidikan, kebudayaan dan sejarah.

“Sudah 12 buku saya karang dan terbitkan,” katanya ketika ditemui di kediamannya, Jalan Diponegoro Gang Juang Nomor 18, kemarin siang. Dia tinggal di rumah sederhana itu bersama dengan seorang anak perempuannya. Tahun lalu, Mooridjan diundang oleh Taman Siswa di Yogyakarta untuk menghadiri reuni pada Hari Ulang Tahun Taman Siswa ke-85. “Waktu itu mantan siswa yang datang hanya delapan orang. Ada yang sudah pakai kursi roda dan ada yang hanya mengirimkan namanya. Sebagian besar memang sudah meninggal,” tuturnya.

Ketika disinggung mengenai Ki Hajar Dewantara alias Raden Mas Suwardi Suryaningrat, ingatannya melayang pada waktu puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, dia mengikuti sekolah guru di Taman Siswa yakni SGA atau Taman Guru tahun 1951. Ketika mengajar, menurutnya Ki Hajar selalu menggunakan sistem among. Mengajar sama dengan mengemong, yang dalam penjabarannya disemboyankan dengan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Guru atau pamong harus dapat memberi dan menjadi contoh atau teladan, dapat memotivasi dan menjaga.

Guru atau pamong dalam Taman Siswa ibarat seorang tukang kebun yang menjaga tanamannya agar tidak dimakan hama. Tiap hari dengan cinta kasihnya sang tukang kebun merawat agar tumbuhan tumbuh baik tanpa memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. “Ki Hajar mendidik muridnya seperti tukang kebun. Kalau ada penyakit atau keburukan, keburukan itu yang diambil. Tetapi beliau tidak memaksa. Kalau tomat, tetap menjadi tomat. Tidak dipaksa untuk menjadi yang lainnya,” jelas dia.

Mooridjan masih ingat, Ki Hajar pernah mengatakan, jika menjadi tukang kayu, jadilah tukang kayu yang ahli. Kalau menjadi pelukis, jadilah pelukis yang ahli. Jangan setengah-setengah. Ketika mengajar, Ki Hajar pun menurutnya selalu menekankan nilai-nilai nasionalisme, cinta tanah air dan idealisme. Jika menjadi tukang kayu, jadilah tukang kayu yang nasionalis. Di semua bidang, nasionalisme selalu di kedepankan.
Metode pengajaran yang diterapkan oleh Ki Hajar, kata Mooridjan, sangat memikat para murid.

Selalu diselingi dengan anekdot dan contoh-contoh yang sarat dengan makna filosofis. Semua yang diajarkan menurutnya bisa melekat di ingatan. Apa yang disampaikan menjadi sebuah pengetahuan abadi bagi si murid. Konsep-konsep pendidikan untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya selalu diterapkan.

“Mengajar berarti memberikan ilmu pengetahuan, menuntun gerak pikir serta melatih kecakapan dan kepandaian agar anak menjadi manusia cerdas. Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik agar mereka menjadi manusia yang berkepribadian, beradab dan susila. Itulah konsep beliau. Sisi lahir dan batin harus diperhatikan,” ujarnya.

Kalau sekarang, kata Mooridjan, Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani sudah tidak lagi diterapkan. Pendidikan tidak lagi menciptakan manusia yang seutuhnya. Pendidikan hanya dinilai dari selembar ijazah. “Kalau sekarang, pamong atau pemimpin bicara tetapi kelakuannya lain dari yang diungkapkan. Tidak bisa dijadikan teladan. Kalau mereka menghimbau supaya hidup sederhana, malah merekalah yang hidup mewah,” katanya.

Ketika belajar, Mooridjan biasa dipanggil dengan nama “Yakin” oleh Ki Hajar. Hal ini karena ketika mengajukan suatu pertanyaan, dia selalu mengawalinya dengan kalimat “Tolong yakinkan saya…”. Tahun 1952, dia lulus dan mengajar di salah satu SMP di Salatiga Jawa Tengah. Selain mengajar, pria ini kemudian melanjutkan pendidikan dengan kuliah sore di Semarang untuk mendapatkan izin mengajar di SMA. Saat menjadi guru itulah, dia punya seorang siswa yang pandai melukis.

Mooridjan kemudian meminta agar siswanya itu melukis tiga orang yakni Ki Hajar Dewantara, Rabindranath Tagore, seorang tokoh pendidikan kelahiran Bengali yang menjadi sahabat Ki Hajar dan dia sendiri. “Lukisannya bagus dan sangat mirip. Dua lukisan itu kemudian saya berikan ke Ki Hajar dan lukisan saya sendiri saya simpan. Saya berharap dua lukisan itu bisa dipajang di pendopo,” ujarnya. Namun, sungguh tak disangka, Ki Hajar enggan memajang lukisannya. “Beliau hanya mau memasang lukisan Rabindranath”.

Ki Hajar berkata kepada Mooridjan, “Kin (Yakin)…, pasang lukisan saya kalau saya sudah mati saja. Jarak antara pahlawan dan pengkhianat itu hanya seujung rambut. Sekarang saya dipuja karena dianggap pahlawan. Mungkin saja sore nanti saya berbuat sesuatu sehingga besok harinya saya dibenci dan lukisan saya kamu robek-robek”. Kenangan itu membekas begitu dalam di benak Mooridjan. Bulir-bulir air mata pun mengalir di pipinya ketika dia bercerita.

Banyak hal yang masih diingatnya tentang Ki Hajar, konsep-konsep pemikiran dan sikap yang dicontohkan sampai pada anekdot-anekdot yang pernah disampaikan ketika mengajar. Sebagian dituangkan Mooridjan dalam buku yang dikarangnya. “Ing Ngarso Sung Tulodo itu hanya salah satu dari sekian banyak filosofi beliau,” ujarnya.
Sosok Ki Hajar menjadi sosok idola di depan Mooridjan sampai sekarang.

Pria yang pandai berbahasa Belanda ini pun berusaha mengikuti jejak sang guru. Dunia pendidikan begitu mendarahdaging di dirinya. Meski sudah pensiun, hingga saat ini dia terus berkiprah di bidang pendidikan dengan cara menjadi Anggota Dewan Pendidikan Kota Singkawang. (*)

Dimuat Pontianak Post Metro Singkawang, 3 Mei 2008

Tidak ada komentar: