Sabtu, 17 Mei 2008

Rahman dan Rahim

Ayat pertama surat Al-Fatihah secara tegas menyebutkan bahwa kedua nama ini merujuk kepada Allah, Yang Maha Kuasa, tiada tuhan selain Dia. Kedua kata ini banyak digunakan di dalam Al-Qur’an, baik secara berpasangan maupun secara terpisah, untuk menjelaskan atau mengacu kepada Dia dalam berbagai konteks. Konteks penggunaan kedua nama ini di dalam Al-Qur’an menegaskan arti dari kata-kata tersebut secara jelas. Hal lain yang juga penting adalah penggunaan kedua kata tersebut di dalam surat Al-Fatihah, ayat 1 dan ayat 3, menunjukkan kenyataan bahwa keduanya merupakan pasangan kata -- sekaligus menunjukkan pentingnya kedua kata tersebut dipasangkan.


Selama ini, dari beberapa literatur dan berbagai terjemahan, Ar Rahman diartikan sebagai Yang Maha Pengasih atau Yang Maha Pemurah. Sementara Ar Rahim diartikan sebagai Yang Maha Penyayang. Jika ditilik dari dua pemaknaan itu, Ar Rahman dan Ar Rahim seolah paralel, tidak berlawanan. Ternyata, dalam tulisan ini, pendapat tersebut dibantah. Ar Rahman justru diartikan sebagai kebalikan dari Ar Rahim.

Pertama, secara etimologi kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama: RAHIM, yang bisa berarti "kandungan" atau "tempat asal," dan kata kedualah dalam hal ini yang lebih sesuai. Kata jadian (derivatif) dari kata ini kebanyakan mengacu pada kata "rahim" atau "penyayang," serta kata-kata yang artinya mirip, seperti "rahmat" atau "mercy," sementara nama "Ar-Rahman" memiliki arti tersendiri, berbeda dengan "rahim" atau "penyayang," namun menggiring kaum terpelajar Arab pada kesimpulan bahwa nama ini memiliki banyak persamaan dengan "Ar-Rahim."

Al-Qur’an, seperti yang akan kita lihat berikut ini, ternyata memperlihatkan kepada kita bahwa arti sesungguhnya justru merupakan kebalikan dari makna "Ar-Rahim." Namun akar kata yang tak terpisahkan ini menghubungkan kedua nama tersebut -- menjadi pasangan kata. Lalu apa salahnya dengan pasangan kata yang berlawanan arti? Keseluruhan penciptaan didasarkan pada hal itu!

Kata Terpenting Kedua: Ar-Rahman "Yang Maha Kuasa"


Kata terpenting kedua di dalam Al-Qur'an, dan yang biasanya paling sering disalahpahami, adalah nama sifat Ar-Rahman. Seperti yang telah Anda lihat di atas, kita menjelaskan arti dari Ar-Rahman dengan kata Yang Maha Kuasa (The Almighty), yang sejauh ini merupakan ungkapan bahasa Inggris yang paling mendekati arti dari Ar-Rahman. Demikian juga halnya, para penerjemah dan ahli tafsir menggunakan ungkapan yang merupakan varian dari "Merciful (penyayang)" untuk menjelaskan nama Ar-Rahman (maha suci Allah).

Beberapa diantaranya, seperti Yusuf Ali, menggunakan kata "Beneficent" (pengasih), sementara yang lainnya memakai kata "Most Gracious (Maha Pemurah)" (Yusuf Ali kadang-kadang menggunakan juga kata ini, Rashad Khalifa menggunakannya secara khusus), dan T. Irving menggunakan kata "Mercy-giver (Pemberi kasih sayang)" (yang mempertahankan kaitan di antara kedua kata itu, namun tetap kehilangan makna yang sesungguhnya), sekedar menyebut beberapa contoh.

Semua mendasarkan interpretasinya pada kesalahan yang persis sama seperti yang dilakukan oleh para ahli tafsir berbahasa Arab, yang menganggap bahwa karena kedua kata itu memiliki akar kata yang sama, "rahmi," yang bunyinya sangat mirip dengan "rahim" atau "kandungan," kemudian menyangka bahwa kedua kata ini memiliki kemiripan arti. Tak satu pun dari mereka mendasarkan interpretasinya dengan cara memeriksa penggunaannya di dalam Al-Qur’an: bagaimana cara Ar-Rahman menggunakan nama-Nya dalam firman-Nya, yakni Al-Qur’an?

Dan siapa lagi yang lebih berhak menginterpretasikan nama Ar-Rahman kecuali Ar-Rahman itu sendiri? Penggunaan kata, bukan secara etimologis dan pastinya bukan hanya berdasarkan kamus, selalu menjadi faktor utama dalam menentukan arti kata, dan tidak ada pengecualian dalam hal ini. Cara penggunaan sebuah nama di dalam Al-Qur’an harus menjadi faktor penentu bagi kita dalam memutuskan arti sebuah kata, dan ini bahkan sangat diperlukan untuk nama yang begitu sering disebutkan sehingga menunjukkan betapa penting dan utamanya sebuah kata, sepeti nama Ar-Rahman ini (Maha Suci Allah).

Jika seseorang memeriksa setiap rujukan terhadap nama sifat yang agung ini di dalam Al-Qur’an, ia akan menemukan keajegan (konsistensi) bahwa semua mengarah pada satu makna yang jelas, pasti dan tak terbantahkan, yang merujuk pada kekuatan dan kekuasaan serta semua yang berkaitan dengan kekuasaan Allah, sanjungan tertinggi bagi-Nya! Nama ini meliputi arti dari semua sifat yang hanya diperuntukkan bagi Dia yang Maha Kuasa!

Pertama, Yang Maha Kuasa sendiri menjelaskan nama Ar-Rahman adalah setaraf dengan nama Allah, dan kedua nama ini bisa dipertukarkan penggunaannya, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Bani Isra’il (17):110. Perhatikan juga bahwa nama Ar-Rahman tidak bisa digunakan dalam bentuk posesif seperti rabb (Tuhan) atau kata "God" dalam bahasa Inggris (misalnya "my God"). Tentu saja, ini juga berlaku untuk nama Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya. Kedua nama ini masing-masing berdiri sendiri: Esa.

Orang tidak boleh menggunakan kata "ku" baik di belakang nama Allah maupun nama Ar-Rahman. Demikian juga, ketika dua nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim, dirangkaikan (secara berurutan) di dalam Al-Qur’an, penggunaannya secara tegas menjelaskan Kekuasaan dan Keperkasaan tertinggi dari Allah, sanjungan tertinggi bagi-Nya (lihat Surat Al-Baqarah (2):163, Surat Fusillat (41):2, dan Surat Al-Hashr (59):221).

Karena itu, kita harus mempelajari Al-Qur’an secara langsung dan melihat arti mana yang paling sesuai untuk Ar-Rahman, menurut cara penggunaan nama-nama ini dalam firman-Nya kepada kita. Surat Maryam (19) adalah surat di mana kata Ar-Rahman paling sering disebutkan (16 kali). Pada ayat 18, Maryam memohon perlindungan kepada Ar-Rahman dari orang yang dia anggap sebagai orang yang memasuki kamar pribadinya, yang sesungguhnya adalah Malaikat Jibril.

Dia memohon perlidungan dari Yang Maha Kuat, Yang Maha Kuasa, bukan belas kasih dari "Yang Maha Pengasih"! Dia memanjatkan doa ini agar mendapat perlindungan Ar-Rahman dari "si pengganggu" sekaligus juga untuk menakuti "si pengganggu," sehingga dalam situasi ini sebutan "Yang Maha Pengasih" atau "Yang Maha Pemurah" tidak akan menimbulkan rasa takut, dan karenanya menjadi tidak sesuai. Jelas sudah bahwa Maryam mengetahui arti dari nama Ar-Rahman dan dalam hal ini yang mengajarkan kepada kita adalah Ar-Rahman itu sendiri (yang, menurut Surat Ar-Rahman 55:2, mengajarkan Al-Qur’an kepada kita) sehingga Maryam menggunakan nama-Nya secara tepat.

Masih dalam Surat Maryam (19):45, Nabi Ibrahim berkata kepada ayahnya, seorang kafir dan penyembah berhala, "Saya takut engkau mendapat murka dari Ar-Rahman, dan [sebagai balasannya] Setan akan menjadi sahabatmu." Apakah ini tindakan Yang Maha Pengasih, Yang Maha Pemberi, atau Yang Maha Pemurah, yang dengan keras melarang untuk menjadikan setan sebagai sahabat? Apakah hal ini menunjukkan kasih sayang dan kemurahan-Nya? Atau apakah ini merupakan tindakan dari Yang Maha Kuasa, Penguasa Tertinggi, Yang Maha Pembalas? Apakah ini menggambarkan kekuasaan dan keperkasaan-Nya, tatacara pembatasanNya, pembagian keadilanNya dengan cara menghukum dan menghancurkan kejahatan?

Memang hal ini berada dalam tataran kewenangan dan kekuasaan (serta keadilan) Nya, namun tentunya di luar dari definisi "penyayang" atau "pemurah" atau "pemberi" untuk menggunakan "kemurkaan" atau menyebabkan "siksaan" (karena secara literal kata azab dalam bahasa Arab juga berarti siksaan). Meskipun masih menjadi perdebatan bahwa dalam skema yang lebih besar, siksaan kepada kaum kafir adalah "kasih sayang" bagi semua makhluk, kita akan membahas hal di mana dua sifat yang saling melengkapi atau juga saling berlawanan diungkapkan di sini.

(Perlukah kita juga berkata, demi argumen yang berbelit-belit, bahwa kasih sayang bagi orang-orang beriman berarti "menyiksa" atau paling tidak "menghukum" kaum kafir? Ya - dan Dia adalah Ar-Rahman sekaligus Ar-Rahim dilihat dari sisi manapun!) Allah banyak menjelaskan nama-nama sifat-Nya di dalam Al-Qur’an dengan nama yang berbeda-beda dengan alasan tertentu, dan terdapat elemen-elemen yang berhubungan dari kedua sisi dalam sebuah sifat yang secara tegas membantah perbedaan arti yang melekat pada sebuah nama.

Dalam Surat Maryam (19):85-96, salah satu penjelasan mengenai nama Ar-Rahman yang paling kuat dan jelas, yang digunakan berulang-ulang, secara keras mengutuk penyembahan patung Isa (Yesus) oleh kaum Nasrani serta pernyataan tanpa bukti bahwa Yang Maha Kuasa (segala puji hanya bagi Allah) berbagi kekuasaan dengan yang lain, atau bahkan menjadi ayah.

Tidak, hanya Dia-lah Sang Maha Pencipta, dan tidak ada yang menyerupai-Nya, dan semua hal selain itu adalah makhluk, benar-benar berbeda, dan semuanya menyembah Dia dan benar-benar tunduk kepada kekuasaan Nya: diakui atau tidak! Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa gunung-gunung, langit dan bumi semuanya bersujud dengan khidmat dan menyembah Ar-Rahman.

Ayat-ayat ini secara jelas menggambarkan bagaimana fitnah ini menimbulkan kemurkaan-Nya. Inikah penggambaran dari "Yang Maha Pengasih" atau "Yang Maha Pemberi"? Apakah ayat-ayat ini menggambarkan dermawan yang penuh kebajikan (seperti dalam kata "beneficent/dermawan") atau tuan rumah yang murah hati (seperti pada kata "gracious"), yang "dengan murah hati" menerima "tamu"Nya atau penerima hadiahNya, atau penguasa baik hati yang memaafkan wargaNya, atau apakah ayat-ayat tersebut TIDAK MENGGAMBARKAN APA PUN melainkan YANG MAHA KUASA??? Untuk sebuah kata dengan makna dan arti yang begitu luas, maka kata ganti yang janggal untuk arti yang sesungguhnya tidak bisa dianggap sebagai "kesalahan" kecil.

Akibat dari "kesalahan" ini adalah serangkaian reaksi atas "kesalahan" dan kekeliruan dalam memahami Al-Qur'an sehingga membuat banyak orang menerima dua premis yang tidak berterima berikut ini:

Bahwa kasih sayang Allah adalah sifat Allah yang dengan sifat itu Dia memperlakukan umat manusia, sehingga menghilangkan kecemasan dan ketakutan kita atas Keperkasaan, Kekuasaan serta Kemarahan Allah; dan

Bahwa makna Al-Qur’an lebih banyak bersifat simbolis ketimbang literal dan harus diinterpretasikan oleh para 'ulama' atau cendekiawan terkenal yang dianggap lebih mengetahui cara menginterpretasikan makna-makna simbolis dibanding "orang biasa" yang tidak memiliki atau tidak dianugerahi pengetahuan khusus. Pada kenyataannya, ini adalah salah satu fakta yang mendapatkan prioritas utama dalam Al-Qur’an, bahwa Allah (sanjungan tertinggi bagi-Nya) adalah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Penyayang dan, dalam hubungan-Nya dengan makhluk-Nya, sifat-sifat ini memiliki proporsi yang benar-benar setara pada tingkatan tertinggi.

Karena nama Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) disebutkan dalam Al-Qur’an (sebagai kata ganti Allah) sebanyak dua kali lipat (114 kali) penyebutan nama Ar-Rahman (Yang Maha Kuasa) (57 kali), maka kekuatan Nya, yang menjadi elemen yang lebih "berat," diseimbangkan dengan menjadikannya dua kali lipat lebih besar dari kasih sayang, sementara kasih sayangNya "sama luasnya dengan segala sesuatu" atau meliputi semua yang ada (Surat Al-Aaraf 7:156).

Pada setiap contoh penggunaan nama Ar-Rahman di dalam Al-Qur'an, satu-satunya interpretasi yang paling tepat diungkapkan dengan nama Yang Maha Kuasa. Dalam contoh lain yang tak kalah jelasnya, kita mendapat gambaran dalam Surat Thaha:1-5, puncaknya adalah ketika "Ar-Rahman 'menaiki' singgasana Nya (atau lebih tepatnya 'memperlihatkan kekuatanNya,' karena 'istawa' tidak memiliki makna 'naik ke atas' seperti dalam kata ‘menaiki' dan Allah itu lebih tinggi dari singgasanaNya)."

Inilah gambaran sempurna dari kekuatan dan kekuasaan, penerimaan dari kekuasaan atas segala sesuatu. Konsep kasih sayang menjadi tidak relevan dalam hal ini: dari sisi waktu mau pun tempat. Perhatikan terjemahan dalam kitab Taurat (Torah) yang diturunkan kepada Nabi Musa menggunakan kata "Mercy-seat (kursi kasih sayang)"; mungkinkah ini kesalahan penerjemahan Ar-Rahman menjadi "Kasih Sayang" dan Al-Arsy (tempat bersemayam) menjadi "kursi"? Ingat bahwa kedua nama ini, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, adalah bagian dari dzikir yang paling kuno, dalam, serta universal/abadi! Kesalahan konsepsi juga sudah terjadi dalam sejarah lebih lama dari yang kita perkirakan.

Di bagian awal Surat Thaha (20), yang dalam satu hal melengkapi uraian tentang Ar-Rahman dalam Surat Maryam (19), pendekatan terhadap nama Ar-Rahman dalam surat ini bahkan didahului dengan rasa takut (ayat 3): sikap yang benar dari kaum mu’minin (orang-orang beriman) terhadap Yang Maha Kuasa (kita takut terhadap kekuasaan Nya, bukan terhadap kasih sayang Nya). Kemudian sumber dari Al-Qur’an secara jelas menyatakan (ayat 4): Pencipta bumi (paling dekat dengan kita) dan langit tertinggi (paling jauh dari kita, paling dekat kepada Allah).

Ayat 5 menjelaskan kekuasaan Nya (bukan kasih sayang Nya atau kemurahan Nya) sebagai Ar-Rahman, Maha Suci Allah. Ayat 6 menjelaskan bahwa langit, bumi, dan semua yang berada diantara keduanya adalah milikNya, dan Ayat 7 menerangkan kemahatahuan Nya secara lengkap. Rangkaian ini mencapai puncaknya pada ayat, di mana "Pernyataan-Kekuasaan" atau laa illaaha ila Allah (tiada tuhan selain Allah) disampaikan. Pernyataan khusus ini merupakan pernyataan kekuasaan agung yang penting, bahkan sering dianggap setara dengan pernyataan keimanan seorang Islam, yang disebut syahadat.

Penggunaannya di dalam Al-Qur’an selalu disampaikan secara kuat dan tegas. Ini melengkapi gambaran kekuasaan mutlak Allah. Efek kumulatif dari kata-kata ini serta kaitannya dengan nama Ar-Rahman, secara kuat dan tegas memperlihatkan kepada kita bukti nyata bahwa nama ini hanya mengacu pada makna Yang Maha Kuasa! Ada banyak cara yang sesuai untuk memohon kasih sayangNya, kebajikanNya, serta kemurahanNya, tetapi jelas bukan dengan kata ini!

Lebih jauh lagi, bagian dari Surat Taha (20):1-8 diakhiri dengan menyatakan bahwa "Dia mempunyai nama-nama yang baik" atau asma’ul husna. Meskipun al husna sering diterjemahkan sebagai "indah," kata ini sesungguhnya secara luas berarti "baik," apakah dilihat dari segi estetika (keindahan) maupun secara umum. Secara umum, salah satu sifat "baik" dalam sebuah nama adalah kesesuaiannya (appropriateness). Perhatikan bahwa di dalam Al-Qur’an, Allah berulangkali mengakhiri ayat-ayatnya dengan pasangan nama, yang memperlihatkan kepada kita kesesuaian sifat dengan perihal atau kisah yang diungkapkan dalam ayat yang bersangkutan.

Lagi-lagi, kelihatannya merupakan hal penting bagi kita untuk mengetahui sifat-sifat khusus Allah, seolah-olah Dia sedang menceritakan diriNya sendiri kepada kita, secara langsung. Fakta bahwa nama-namaNya merupakan fakta puncak yang diungkap oleh 8 ayat ini mengindikasikan bahwa ke-8 ayat tersebut menceritakan secara langsung kepada kita mengenai arti dari nama Ar-Rahman, yang juga disebutkan dalam Surat Bani Isra’il (17):110 sebagai salah satu dari asma’ul husna. Secara khusus, kesemuanya memperlihatkan kesesuaian nama agung ini dengan gambaran paling jelas mengenai kekuatan dan kekuasaanNya, kekuatan dan kekuasaan yang hanya milik Yang Maha Kuasa!

Masih dalam Surat Thaha, mengikuti gambaran yang sangat tepat mengenai Hari Pembalasan dan kekuatan dahsyat Allah pada Hari itu, ayat 108 dan 109 memberikan gambaran yang kuat dan menakutkan dari kekuasaan dan kekuatan Ar-Rahman pada Hari itu: ketika kita semua benar-benar tunduk kepadaNya, dan anda tidak akan mendengar apa pun kecuali bisikan-bisikan perlahan, dan tidak akan diizinkan syafaat kecuali yang sudah diputuskan olehNya serta izin Allah (bahkan izin tersebut hanya diberikan kepada para malaikat -- manusia tidak bisa memberi syafaat atas nama manusia lainnya).

Kedua ayat ini diikuti oleh ayat 110 yang secara jelas menggambarkan kemahatahuan Allah dan ayat 111 yang menyebutkan bahwa semua wajah akan tunduk di hadapan Yang Maha Hidup, Yang Maha Kekal (Al-Hayyu Al-Khayyum) dan bahwa barangsiapa yang membawa beban akibat satu tindakan aniaya saja (dosa) akan mendapat hukuman (tanpa sifat pemaafNya -- lalu di mana letak kiasan "penyayang" dan "pemurah" dalam ayat-ayat ini?). Keseluruhan rangkaian ayat-ayat ini juga menekankan kekuatan, kekuasaan, dan kemurkaan yang menghancurkan dari Yang Maha Kuasa!

Untuk melakukan kajian sendiri terhadap nama sifat yang agung tersebut, di bawah ini kami sudah menuliskan daftar semua referensi tentang nama Ar-Rahman agar Anda bisa memeriksa dan melihat betapa konsistennya nama ini mengacu pada sifat kemahakuasaan, serta semua sifat yang berakar pada kata kemahakuasaan, dan bukan sifat dari penyayang atau "pemurah" atau "pengasih." Perhatikan juga bahwa nama Ar-Rahman (sanjungan tertinggi bagi-Nya) tidak berasal dari kata sifat yang bisa merujuk kepada apa pun atau siapa pun selain Yang Maha Kuasa.

Nama-nama sifat lainnya, seperti Al-Qadir (Yang Memberi Kepastian), Al-Ghofur (Maha Pemaaf), dan bahkan Ar-Rahim (Maha Penyayang), semuanya berasal dari satu akar kata, dan dengan membuang awalan Al-, semuanya bisa digunakan kepada manusia dan makhluk lainnya, dan hanya karena dalam bentuk Al- sajalah maka kata-kata tersebut menjadi kata-kata yang hanya bisa digunakan kepada Allah (sanjungan tertinggi bagi-Nya). Eksklusifitas tertinggi diperuntukkan bagi nama Ar-Rahman dan ini menekankan keagungan, makna serta pentingnya nama ini berkenaan dengan Yang Maha Kuasa, sekaligus juga, dalam hal ini, menerangkan kemahaesaanNya dan keunikanNya yang mutlak.

Surat Ar-Rahman adalah salah satu surat yang paling menonjol di dalam Al-Qur’an, yang menjelaskan secara sangat rinci tentang makhluk-Nya di dunia dan di akhirat, bahwa makhluk (ciptaan) Nya menjadi bukti nyata dari kekuatan dan supremasi-Nya sebagai Sang Pencipta (Khalik). Dalam surat ini, nama Ar-Rahman hanya disebutkan satu kali yakni di ayat pertama, meskipun pada kenyataannya malah membentuk keseluruhan ayat. Fakta ini sendiri menekankan pentingnya nama tersebut.

Ayat berikutnya menyebutkan bahwa Dia (Ar-Rahman) mengajarkan Al-Qur’an (kepada kita), lalu ayat berikutnya lagi menyebutkan bahwa Dia menciptakan manusia, dan mengajari manusia untuk membedakan berbagai hal/ benda (termasuk soal benar dan salah). Penciptaan matahari, bulan dan surga, serta tunduknya bintang-bintang dan pepohonan, semuanya disebutkan dan semua menunjukkan kemahakuasaan Dia atas segala hal sebagai Yang Maha Kuasa. Allah juga memberi peringatan dalam rangkaian ayat pertama dalam surat ini kepada manusia agar tidak mengurangi timbangan (yakni, tidak menipu orang lain untuk keuntungan pribadi).

Menciptakan, memberi pelajaran (menanamkan pengetahuan membutuhkan hal itu terlebih dahulu sebelum menjadi ilmu, dan baru kemudian kekuatan serta kekuasaan untuk mengkomunikasikannya), menjadikan semua makhluk tunduk kepadaNya, dan memberi peringatan agar tidak berbuat salah, kesemuanya itu adalah tindakan dari Yang Maha Kuasa. Penegasan berulang-ulang dalam surat ini menantang manusia dan jin untuk menyangkal setiap mukjizatNya, dan tidak menawarkan kasih sayang bagi mereka yang menolaknya.

Apakah ini gambaran dari seorang tuan rumah yang "ramah" atau nama yang sesuai bagi serangkaian tindakan "penyayang" -- atau tidakkah ini lebih tepat dipahami sebagai gambaran dari Yang Maha Kuasa, Yang Maha Kuat, Yang Maha Mengetahui, Maha Pembalas, Pemilik Kekuatan Tertinggi, Maha Pencipta, Maha Suci Allah? Ya, Dia juga Maha Penyayang -- namun kita terlebih dulu harus takut kepada kekuatan dan kekuasaanNya sebelum kita memenuhi syarat untuk memohon kasih sayangNya! Tidakkah Anda melihat bahwa nama Ar-Rahman selalu ditempatkan di depan nama Ar-Rahim?

Tidakkah Anda melihat bahwa kedua sifat ini dijelaskan secara terpisah dan begitu seringnya di dalam Al-Qur’an, untuk menunjukkan kepada kita bahwa kedua sifat yang (saling melengkapi) berlawanan ini, yakni kekuatan mutlak dan kasih sayang mutlak, adalah --dan hanya- milik Dia saja, dan menjadi pemilik sifat dinamis dan maha hebat dari semua sifat dasar agung dan mutlak yang saling berlawanan, sesungguhnya, adalah "pijakan utama" atau modus operandi dari kekuasaanNya?

Ini bukan sekedar dugaan. Ini jelas-jelas merupakan hal yang Dia ingin agar kita mengetahuinya, dan apa yang harus diketahui oleh kaum mukminin dari zaman lain sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an... Afa laa taa’qiluun? Tidak maukah Anda menggunakan pikiran anda?

Berikut ini adalah semua referensi yang merujuk pada nama Ar-Rahman di dalam Al-Qur’an, diurut berdasarkan nomor surat diikuti tanda titik dua (:) kemudian diikuti oleh nomor ayat:

1:1, 1:3, 2:163, 13:30, 17:110, 19:18, 19:26, 19:44, 19:45, 19:58, 19:61, 19:69, 19:75, 19:78, 19:85, 19:87, 19:88, 19:91, 19:92, 19:93, 19:96, 20:5, 20:90, 20:108, 20:109, 21:26, 21:36, 21:42, 21:112, 25:26, 25:59, 25:60, 25:60, 25:63, 25:63, 26:5, 27:30, 36:11, 36:15, 36:23, 36:52, 41:2, 43:17, 43:19, 43:20, 43:33, 43:36, 43:45, 43:81, 50:33, 55:1, 59:22, 67:3, 67:19, 67:20, 67:29, 78:37, dan 78:38.

Dalam semua contoh ini, nama Ar-Rahman bermakna Yang Maha Kuasa.

Ar-Rahim Yang Maha Penyayang

Nama Ar-Rahim, Yang Maha Penyayang (maha tersanjung Dia dan semua nama-Nya yang mulia), secara umum sudah dipahami dengan benar dan diinterpretasikan oleh kata itu sendiri, sebagai sebuah nama sifat, tetapi bukan dalam kaitan yang penting dan kritis dengan nama Ar-Rahman. Ini disebabkan nama Ar-Rahman telah diinterpretasikan secara salah, sehingga tidak ada hubungan dinamis yang terlihat di antara kedua nama ini yang bisa disimpulkan sebagai memiliki kemiripan makna. Namun jika kita melihat kedua nama itu secara bersamaan seraya mengingat bahwa makna sesungguhnya dari Ar-Rahman adalah Yang Maha Kuasa, kita segera bisa melihat bahwa kedua nama itu mewakili sifat-sifat yang benar-benar berlawanan (atau orang bisa mengatakan, "saling melengkapi") maknanya.

Kekuatan dan kekuasaan biasanya dikaitkan dengan kewenangan, hukuman, ampunan, serta kemampuan untuk overwhelm dan menundukkan yang lemah - dan dalam konteks Yang Maha Kuasa, semua selain Dia tidak memiliki kekuatan apa pun. Sebaliknya, Kasih Sayang biasanya dikaitkan dengan pemaaf, keramahan, suka menolong dan mengalah terhadap yang lemah, tanpa pamrih, mempertimbangkan sudut pandang dan keadaan orang lain yang berbeda, mau mendengarkan dan mau menerima. Dan tidak ada satu pun yang menyerupai Allah, atau berbeda, dan segala sesuatu selain dia adalah penerima kasih sayangNya.

Kasih sayangNya lah yang berhubungan dengan kita, dengan keinginan dan kebutuhan kita (berdasarkan pandangan atau keadaan kita), yang melalui semua itu kita bisa berhubungan denganNya. Karena jika dibandingkan dengan Dia, kita tidak memiliki kekuatan apa pun, dan tidak mampu merasakan atau berhubungan denganNya, kecuali melalui kasih sayangNya (dan Kekuatan yang membangkitkan kasih sayangNya).

Maka kita memahami dua sifat penting ini: kekuatan dan kekuasaan mutlak di satu sisi, dan limpahan kasih sayang di sisi lainnya. Hubungan di antara kedua sifat yang berlawanan ini benar-benar dinamis dan erat, dan hubungan yang dinamis dan erat ini menunjukkan sifat sangat dinamis dari Kekuatan Tertinggi, Allah Subhanahu wata’ala!

Dengan memasuki pemahaman ini, kita bisa melihat secara jelas bahwa Allah bukanlah pemberi kasih sayang dan kebajikan yang statis, sebagaimana yang mungkin digambarkan banyak orang secara tidak sadar, melainkan justru Maha Pencipta, Pemberi Rizki dan Pemelihara yang dinamis dan tak terduga dari -dan berinteraksi secara langsung dengan- semua yang ada secara terus menerus, mencipta secara aktif di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang, bukan Dia yang menciptakan segala sesuatu di masa lalu untuk kemudian meninggalkannya di masa kini guna melanjutkan jalur yang sudah ditentukan olehNya, sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian orang.

(Ingat bahwa salah satu makna dari "penciptaan" adalah "transformasi," untuk merubah total sesuatu menjadi menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda, suatu perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, dan tidak bisa dilakukan terhadapNya -- menurut definisi!). Al-Qur'an berulangkali menyebutkan bahwa Allah menciptakan apa pun yang Dia kehendaki (Surat Ar-Rum 30:54, As-Syura 42:49, Al-Qasas 28:68), di masa sekarang, dan menggambarkan konsepsi serta perkembangan dari setiap janin manusia sebagai sebuah tindakan penciptaan oleh Sang Pencipta, (lihat Surat Az-Zumar 39:6, Abas 30:19) serta pengecambahan dan pertumbuhan tanaman mulai dari benih sebagai sebuah tindakan penciptaan oleh Sang Pencipta, masing-masing dalam contoh tersendiri, atau, sebagaimana Dia secara sangat mengesankan bertanya dalam Surat Al-Waaqi'ah (dalam terjemahan bebas) berkaitan dengan tanaman yang ditanam oleh manusia:

"Kamukah yang menumbuhkannya, ataukah Kami yang menumbuhkannya?" Ini berarti bahwa Dia secara ajeg dan terus menerus berinteraksi dengan semua ciptaan-Nya. Pikirkanlah tentang hal yang tak terduga dan tak terbayangkan dari tindakan atau dari kenyataan Sang Pencipta seperti itu, yang terus menerus mencipta (Ar Rahman) dan terus menerus memperhatikan, mendengar, serta menyediakan dan memberikan tanggapan kepada semua yang ada (Ar-Rahim), lalu bayangkan juga bagaimana kedua sifat penting ini, yang tanpa keduanya --atau hanya ada salah satu saja- tidak mungkin tercipta kehidupan, yang secara simultan merupakan sifat aktif dari Allah, meskipun berlawanan, dan mungkin anda mulai bisa membayangkan kekuatan dinamis luar biasa dari pemahaman tentang Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya ini!

Hubungan timbal balik yang dinamis diantara dua sifat Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya ini merupakan sifat dari kepentingan yang sama di dalam Al-Qur’an, yang terus menerus menunjukkan dan menjelaskan hal itu, sekaligus memberi contoh dan penerapannya. Hanya dengan menguji penggunaan nama Sang Pemberi Wahyu di dalam Al-Qur’an, kita bisa melihat betapa amat pentingnya kaitan diantara kedua sifat itu. Kenapa, misalnya, dalam surat Al Fatihah yang sangat fundamental dan penting, Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya menjelaskan kedua nama ini untuk keduakalinya dalam ayat yang terpisah (ayat 3), padahal sebelumnya sudah disebutkan dalam Doa pada ayat pertama?

Ini bukan hanya untuk menunjukkan pentingnya kedua kata itu, melainkan juga untuk menunjukkan apa sesungguhnya yang sangat penting itu (sehingga kita bisa memahaminya). Inilah cara yang membuat kita mengulang dan menyebutkan nama-nama itu kembali, kemudian merenungkan maknanya, dan berfikir bahwa kedua nama sifat itu pasti memiliki arti yang khusus.

Ini mengantarkan kita pada pemahaman kedua, yakni, bahwa kedua sifat ini sengaja disandingkan sebagai pasangan. Lagi-lagi, hal ini sesuai dengan uraian tentang (apa yang bisa dianggap sebagai) Al-Fatihah dalam Surat Al-Hijr (15): sebagai "tujuh pasangan." Hal ini membawa kita kepada pertanyaan, "Mengapa kedua sifat ini dianggap sebagai pasangan kata yang khusus?" Sambil memikirkan pertanyaan ini, kita harus menyadari bahwa Allah menginginkan kita untuk menganggap kedua kata itu sebagai pasangan karena dengan demikian, bertolakbelakangnya makna kedua kata itu justru memunculkan kekuatan dinamis keduanya, yang menunjukkan bahwa Allah Maha Pemilik

Kemampuan, dalam arti yang sesungguhnya, sebagai Yang Maha Kuasa sekaligus Maha Penyayang secara simultan, memberikan hukuman kepada orang-orang zalim dan mereka yang mengabaikan atau menyangkal Nya, dan memberi pahala kepada mereka yang saleh dan beriman kepadaNya, serta memaafkan mereka yang memohon ampun dengan penuh penyesalan kepada Nya.

Dia adalah sesuatu yang tidak terbatas dari kedua sifat ini: kekuatan dan sifat responsif, kekuasaan dan pemberi maaf, dan tiada tuhan selain Dia, keduanya berjalan secara simultan dalam arti yang sesungguhnya.

Perhatikan bahwa kedua nama tersebut menegaskan sifat-sifat Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya, dan bahwa kedua sifat ini adalah aktif - artinya, keduanya menjelaskan bagaimana Dia bertindak. Tindakan-tindakan ini menjelaskan bagaimana hubungan Dia dengan makhluknya, yang terdiri dari segala sesuatu yang bukan Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya. Setiap perbuatan Allah, setiap sifat Nya, bisa digolongkan sebagai sifat Ar-Rahman, Yang Maha Kuasa, atau Ar-Rahim (Maha Penyayang). Dalam hal ini, kedua nama tersebut mencakup keseluruhan sifat-sifat Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya.




Kedua kata ini juga ada dalam keseimbangan yang sempurna: daya tembus Yang Maha Kuasa -- ditulis sebanyak 57 kali di dalam Al-Qur'an -- diimbangi dengan semua hal yang mencakup kebaikan dari Yang Maha Penyayang -- disebutkan sebanyak dua kali lipat di dalam Al-Qur'an, atau 114 kali, sebagai pengganti kata Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya. "Tingginya penekanan" keperkasaan dan kekuatan ini diimbangi dengan "limpahan" kasih sayang. Kita membutuhkan kekuatan dan kemampuan tertentu, yang telah diberikanNya kepada kita, dan kita membutuhkan kemampuan dan kekuatanNya untuk membantu kita, namun kita ternyata bahkan membutuhkan kasih sayangNya -- dua kali lebih banyak!

Ingat bahwa kekuasaan dan kekuatan Allah ini mutlak -- sebuah sifat yang secara logis dan menurut akal hanya bisa dimiliki olehNya -- dan membuat kasih sayangNya meliputi segala sesuatu -- juga merupakan sifat yang secara logis dan menurut akal hanya bisa dimiliki olehNya, dan karenanya kedua sifat ini diwakili oleh nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Maha Suci Allah) yang satu sama lain saling menegaskan sebagai hal yang hanya diperuntukkan bagi Allah. Dalam kenyataannya, memuji kedua nama ini secara bersama-sama menyebutkan makna dari kata-kata agung laa ilaaha illa Allah, "tidak ada yang patut disembah melainkan Allah."

Tiada sesuatu kecuali Dia bisa berarti yang mahakuasa atau yang maha pengasih, apalagi kedua-duanya secara serempak. Sifat-sifat berlawanan yang didekatkan dengan cara yang sempurna dan dinamis ini, secara praktis dan sederhana ini menuntun kita kepada kebenaran tertinggi tentang siapa Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya.

Dalam masalah yang sama seperti ini, nama Ar-Rahman (Maha Suci Allah) hanya boleh ditujukan kepada Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya, dan tidak memiliki bentuk derivatif sifat yang bisa digunakan bagi hal lainnya, sementara nama Ar-Rahim hanya diperuntukkan bagi Dia dengan kata depan Al -- kata sifat rahim berasal dari nama ini dan berarti "penuh kasih sayang" dalam pemahaman secara umum. Kenyataannya, kata ini juga diterapkan kepada Nabi Muhammad dalam Surat At-Taubah (9:128) (Perlu dicatat, ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini dan ayat yang berikutnya ditambahkan kemudian ke dalam Al-Qur’an yang asli, sebuah pendapat yang tentu saja kontroversial).

Ini mengungkapkan kenyataan bahwa kita tidak bisa menyamai kekuatan Sang Pencipta dengan cara apa pun, tetapi dengan berbuat disertai rasa kasih sayang bisa memperlihatkan sifat tersebut pada skala yang sangat terbatas. Inilah sesungguhnya apa yang Dia inginkan agar kita melakukannya: yakni: memperlihatkan kasih sayang. Dan agar jelas perbedaannya dengan kekuasaan tertinggi, kasih sayang yang kita tunjukkan di sini tidak berdasarkan pada keserbamampuan, yang tentu saja tidak kita miliki.

Jadi, "menunjukkan kasih sayang" bukan berarti melakukan segala hal tanpa cela atau tanpa kesalahan, meskipun jika hal itu dilakukan akan benar-benar merupakan "kasih sayang" bagi orang lain, melainkan lebih ditujukan secara khusus terhadap cara kita merespons orang lain -- termasuk kesediaan untuk memaafkan, berbuat baik dan memberi perhatian kepada orang lain, dan juga menolong orang lain.

Memahami makna dari kedua nama ini merupakan pengetahuan utama dan mendasar, serta penting bagi pemahaman sesungguhnya terhadap makna dari Al-Qur'an secara keseluruhan. Umumnya orang cenderung menginginkan sifat ini atau pun sifat lainnya berlaku menurut kebutuhan atau selera pribadi mereka, semacam kasih sayang dan/atau kekuatan berdasarkan permintaan. Allah berkali-kali menunjukkan kepada kita di dalam Al-Qur’an bagaimana Dia bertindak dengan sifat Maha Kuasa dan Maha Penyayang, dan kita sama sekali tidak memiliki daya apa-apa dalam hal ini kecuali berserah diri kepada Nya.

Al-Qur'an mengajarkan kepada kita bahwa hal terpenting bagi kita adalah mengetahui siapa Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya, semaksimal mungkin, dan pengulangan yang terus menerus serta penggunaan yang tepat dari kedua nama ini menekankan bahwa titik utama dari pengetahuan itu adalah pemahaman yang tepat akan makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya adalah Kebenaran tertinggi, Realitas tertinggi, sehingga sia-sia dan hanya buang waktu percuma saja, sekaligus merupakan tindakan yang amat sangat destruktif, jika kita coba-coba menyangkal atau membelokkan fakta-fakta berkaitan dengan Realitas-Nya demi menyesuaikannya dengan selera kita, kelemahan kita dll.

Dalam skala yang lebih parah, kaum Nasrani telah menurunkan derajat konsep Yang Maha Kuasa ini di dalam kitab "Perjanjian Lama" dan konsep Yang Maha Penyayang melalui kitab "Perjanjian Baru" - padahal Yang Maha Kuasa menghukum dan berada jauh di atas dan tidak terpengaruh oleh dugaan mereka yang salah - seolah-olah mereka ingin menggambarkan Pencipta "Perjanjian Lama," Yang Maha Kuasa, sebagai pemberi tugas yang kejam, tanpa belas kasih, sehingga karenanya perlu "menyerupai" atau "menjelma menjadi" sosok manusia dan karenanya menimbulkan cukup simpati untuk meraih dan meningkatkan kasih sayang-Nya (sungguh pembohong yang sangat lancang!) agar bisa menghapus murka-Nya serta segala akibatnya, sehingga "penjelmaan" tersebut menanggung segala akibat, termasuk "mencebur" sementara ke dalam neraka, dari semua manusia yang hidup sesudahnya, sehingga mereka bisa berbuat bebas tanpa perlu takut akan pembalasan.

Dengan kata lain, mereka membuat suatu kebohongan yang mereka percayai bahwa mereka hanya akan bertemu, pada Hari Pembalasan, dengan Ar-Rahim saja tanpa perlu menjalani pengadilan dari Ar-Rahman! Sungguh hanya Hari penuh Malapetaka dan kemurkaan-Nya yang akan mereka hadapi pada saat menghadap Yang Maha Kuasa untuk kebohongan besar seperti itu!

Sementara yang lainnya menggunakan taktik yang berbeda untuk membohongi diri mereka sendiri dalam persoalan yang sama. Kaum Yahudi misalnya, ingin agar Pencipta mereka hanya menjadi Ar-Rahim bagi mereka saja - sebagai "manusia-manusia pilihan" Nya -- yang mereka nyatakan sebagai "hak" atau keistimewaan yang didapat bukan karena usaha mereka, melainkan lebih disebabkan garis keturunan atau silsilah, alias karena warisan. Jadi, mereka juga mencari cara untuk menghindari pertemuan dengan Ar-Rahman pada Hari Pembalasan dengan cara mengarang pengakuan bahwa mereka memiliki hak warisan untuk hanya berurusan dengan Ar-Rahim.

Tidakkah mereka tahu bahwa hanya Ar-Rahman yang bisa menjadi Ar-Rahim, dan bahwa kedua sifat ini tidak bisa dipisahkan? Apakah mereka pura-pura tidak tahu bahwa Ar-Rahman adalah Yang Maha Kuasa, pemegang kendali dan kekuasaan tunggal serta menyeluruh atas Hari Pembalasan? Bagaimana mungkin seseorang bisa menunjukkan semua hal yang mencakup kebaikan tanpa mengetahui apa makna kasih sayang bagi tiap-tiap individu, yang pada gilirannya membutuhkan segenap kekuasaan dan pengetahuan, yang merupakan ranah eksklusif dari Ar-Rahman?

Banyak juga Muslim yang mencari cara untuk menjamin agar mereka pada akhirnya hanya akan bertemu dengan Ar-Rahim, dan bahwa pertemuan puncak mereka dengan Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya akan penuh dengan kasih sayang, pahala dan pertolongan saja, serta tidak harus menghadapi kemungkinan mengerikan atas pembalasan dari Ar-Rahman. Beberapa perusahaan pemakaman Muslim memiliki "syeikh" yang meminta "almarhum" tertentu agar lolos ke surga tanpa melewati pengadilan atau perhitungan. Apakah mereka mengira bahwa karena seorang "syaikh" memohonkan hal itu maka kemudian hal itu akan terjadi? Jelas, tak satu pun dari mereka membaca Al-Qur’an!

Karena Al-Qur'an berulang-ulang secara tegas dan tanpa keraguan mengungkapkan fakta bahwa Allah adalah Ar-Rahman sekaligus Ar-Rahim, dan berbuat dengan kedua sifat ini secara simultan dan cermat, mereka yang ingin disebut Muslim ini masih berusaha menghindari kenyataan bahwa orang yang mereka hormati menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca hadits yang seringkali menggunakan pendekatan yang tidak begitu jelas serta melahirkan pandangan yang cupet, dan pada saat yang sama tidak terlalu menuntut pertanggungjawaban seperti Al-Qur’an.

Ini termasuk hadits-hadits yang yang diklaim sebagai dikutip langsung dari Nabi Muhammad dan hadits-hadits yang diklaim sebagai perkataan langsung dari Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya, namun tidak tercantum dalam Al-Qur'an (ini juga problematis), yang biasa disebut hadits qudsi. Banyak hadits yang sesungguhnya bertentangan dengan Al-Qur'an, baik dalam makna mau pun dalam penyampaiannya. Kebanyakan digunakan untuk mengatur kehidupan Muslim secara mikro sampai ke hal-hal kecil.

Dan banyak juga yang digunakan untuk menyediakan bukti bahwa Muslim, hanya dengan mengucapkan keyakinan sederhana, memiliki tiket gratis ke surga dan akan bertemu dengan Ar-Rahim di Hari Pembalasan "bi ghoir hissab" atau "tanpa dihisab (amalnya)." Kaum Nasrani dan Yahudi "versi Muslim" yang disebut terakhir ini berkeinginan mengubah realita dengan cara berbohong mengenai hal itu yang bermuara pada berubahnya pemahaman sesungguhnya dari makna Ar-Rahman menjadi sama dengan makna Ar-Rahim secara esensial. Banyak imam yang senang dengan kenyataan ini, tentang bagaimana kasih sayangNya begitu besar sehingga Dia mengungkapkannya sebanyak dua kali, dst., dst.

Tidakkah mereka membaca Al-Qur'an, yang dengan jelas menyatakan bahwa tempat kita menghadap di Hari Pembalasan adalah Ar-Rahman, nama yang memiliki bobot dan kekuasaan sama dengan nama Allah (Surat Bani Isra’il 17:118, Yang Maha Kuasa, dan bahwa semua orang tanpa kecuali harus menghadapi ketakutan akan murka Nya, dan pengadilan Nya, sebelum mendapatkan, jika memenuhi syarat (dan Ar-Rahman sendiri menentukan syarat di sini), kasih sayang dan kebaikan dari Ar-Rahim?

Perhatikan juga kemiripan bunyi dan makna dari kata-kata agung dalam bahasa Cina untuk "yin" dan "yang," atau, agar urutannya tepat, "yang" dan "yin." Kata-kata ini sekarang hanya konsep belaka, namun ketika Allah mengirimkan nama-nama Nya kepada orang-orang Cina, nama-nama tersebut menjadi kata-kata yang sama dengan arti yang sama: "yang" menjadi dasar dari Ar-Rahman, mengacu pada apa yang dalam naskah kuno Cina Yi Jing disebut sebagai "Yang Mencipta," mewakili konsep kekuatan dan kreativitas; dan "yin" menjadi dasar dari Ar-Rahim, menurut buku Yi Jing ini sebagai "Yang Menerima," atau konsep kepasrahan, kasih sayang, serta sikap responsif.

Bahkan simbol "yin" dan "yang," sebuah lingkaran penuh melingkupi kedua sifat dinamis itu yang secara tepat digambarkan sebagai dua bentuk yang terjalin secara dinamis dengan masing-masing pusatnya diberi warna yang mewakili dua sifat yang berlawanan, melukiskan sifat hubungan yang dinamis dan tak terpisahkan dari kedua prisnsip tadi. Ini sesungguhnya adalah gambaran dua sifat tadi yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Dua sifat ini benar-benar berlawanan, tak terpisahkan, berinteraksi secara dinamis, dalam keseimbangan yang sempurna, serta dua aspek dari Dia yang tak bisa dibagi, maha kuat dan tak terlukiskan!

Dua hal ini, sebagai kombinasi unik dari sifat-sifat agung, adalah kekuatan yang menggerakkan dan menjalankan alam semesta, keseluruhan makhluk ciptaan-Nya (terlepas dari apakah orang menyebutnya sebagai "alam semesta" atau "beberapa alam semesta"). Atau, lebih tepatnya lagi, Allah sanjungan tertinggi bagi-Nya adalah satu-satunya yang menggerakkan, menjalankan dan sepenuhnya mengendalikan alam semesta atau semua ciptaan-Nya dengan kedua sifat-Nya dalam interaksi dan keseimbangan dinamis yang sangat sempurna. Dan karenanya tidak mungkin ada tuhan selain Dia -- satu-satunya yang bisa menjadi Ar-Rahman, Ar-Rahim, karena definisi paling tepat dari Dia yang bisa mencakup kedua sifat ini secara sempurna tentunya hanya milik Kekuatan Yang Maha Sempurna!

Ar-Rahman, Ar-Rahim: "Pasangan Kata" Terpenting
Oleh Sister W.H. (e-mail: intellibrain@hotmail.com
Terjemahan Tata (tata_pjl@telkom.net)
Editor: Allah-Semata.Org

Judul asli: Al Rahman, Al Raheem: The Most Important “Pair”

Tidak ada komentar: