Rabu (27/2), genap empat hari aku di Jakarta. Pagi itu hujan gerimis mengiringi langkahku dari Asrama Kalbar Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 11 Matraman, Jakarta Timur menuju ke Gedung Dewan Pers Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Hari ini adalah hari ketiga aku mengikuti Kursus Pelatihan Jurnalistik Intensif (KPJI) di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) yang berada di lantai III gedung tersebut.
Meski belum hafal jalan, setidaknya aku sudah tahu harus naik apa kesana. Bis kecil dengan tulisan Kopaja dengan nomor trayek 502. Ongkosnya dua ribu rupiah. Untuk naik bis tersebut, aku terlebih dahulu harus keluar dari Jalan KH Ahmad Dahlan menuju jalan besar di mana bis itu biasa lewat. Jaraknya kira-kira duaratus meter dari asrama.
Masih di jalan KH Ahmad Dahlan, sebuah SMS masuk ke Hp ku. Dengan segera kurogoh saku celana bagian depan dan lalu kubaca SMS itu. Ternyata dari Aziz, seorang rekan di Singkawang.
"Gimana, cantik-cantik gak ceweknya? Jadi gak ke tempat Pak Uus," tanyanya dalam SMS itu. Aku langsung tersenyum membaca SMS tersebut dan lalu mengetik serangkaian kata sebagai balasan. "Lumayan, cantik-cantik juga...ntar lihat dulu, jadi atau tidak ke tempat Pak Uus" jawabku.
Pak Uus adalah seorang kenalan yang tinggal di wilayah Bogor. Waktu masih di Singkawang, aku dan Aziz sempat membicarakan tentang Pak Uus dan dia menyarankanku untuk silaturahmi kesana. Aziz juga menitipkan pesan untuk kusampaikan kepada Pak Uus. Hujan gerimis sudah reda. Sedikit lagi aku sampai di persimpangan. Setelah memasukkan kembali hp di saku celana, langkahku pun kupercepat.
Ketika sampai di persimpangan, jalanan tampak lengang. Aku lalu menyeberang. Sejumlah pejalan kaki lain ikut di sampingku. Di seberang, kami berdiri di trotoar. Masing-masing menunggu angkutan yang akan dinaiki. Tak lama menunggu, bis yang kutunggu lewat dan aku pun segera naik. Langsung kubayar ongkosnya kepada kernet. "Perempatan Sabang, ya bang," kataku dan dia menganggukkan kepala seraya menerima ongkosnya.
Aku tidak kebagian tempat duduk dan terpaksa berdiri di dekat pintu. Bis pun melaju dengan pasti. Sesekali bis berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang lain di sepanjang perjalanan. Beberapa saat kemudian, hp ku kembali bergetar tanda sebuah SMS masuk. SMS itu tak kupedulikan. "Ah, nanti saja, lagi di bis nih, repot," begitu bisikku dalam hati. Aku menduga SMS itu juga dari Aziz.
Perjalanan masih terus berlanjut dan kembali berhenti sesekali guna menaikkan dan menurunkan penumpang. Meski ada yang turun, jumlah yang naik lebih banyak. Bis jadi semakin sesak. Tubuhku terhimpit-himpit penumpang lain. Aku celingak-celinguk di jendela, melihat kalau-kalau perjalanan sudah dekat. Maklum, aku belum hafal. Takut alamat yang kutuju terlewati.
Dengan menaikkan alis, aku menggunakan bahasa isyarat kepada kernet guna memastikan apakah Perempatan Sabang masih jauh. "Tenang bang, masih jauh," ujar Kernet. Aku tenang kembali. Beberapa menit kemudian, bis berhenti. "Di sini Sabang," kata Kernet itu kepadaku. "Oh sudah sampai ya," jawabku yang langsung melompat.
Dari persimpangan Sabang, aku masih harus berjalan ke kiri sekitar 200 meter untuk mencapai Gedung Dewan Pers. Beberapa pejalan kaki dan tukang ojek yang mangkal di sekitar tempat itu kulewati. Aku kemudian mengambil bungkus rokok di saku celana bagian belakang, kusulut sebatang lalu kuhisap dalam-dalam sambil meneruskan perjalanan. Di depan sana, Gedung Dewan Pers sudah terlihat. "Ah, akhirnya sampai juga," kembali aku bicara dalam hati.
Lantas, aku teringat dengan SMS yang kuduga dari Aziz tadi. Kuraba-raba sakuku. Rata. "Lho, kemana hp-ku?" Kucari-cari lagi di saku-saku yang lain, baik di baju maupun celana. Ternyata hasilnya tetap nihil. Bagai disambar petir, aku tiba-tiba tersentak. "Sial, rupanya aku kecopetan," rutukku dalam hati. Sama sekali tak kusangka dan kuduga hal ini menimpaku. Yah, mungkin sudah nasib.
Hp ku memang hp kuno. Harganya tak seberapa. Aku pun sebetulnya sudah punya rencana untuk menggantinya dengan yang baru. Namun, Hp itu memiliki banyak kenangan. Ia menemaniku liputan kemana-mana. Aceh, Bali, Jakarta, Malaysia, Yogyakarta dan lain-lain. Hp itu pemberian dari seorang teman beberapa tahun lalu, ketika aku masih baru jadi wartawan.
Hal yang juga membuatku kesal adalah sejumlah nomor telepon narasumber dan lain-lain yang ada di dalamnya. Semua terpaksa ikut raib. Untunglah, beberapa nomor penting sudah kucatat di buku. Meski aku kesal, tetapi ini adalah sebuah pelajaran agar aku lebih hati-hati. Aku pun masih harus bersyukur karena cuma hp kuno itu yang digondol pencopet. Bayangkan saja kalau dompetku yang dijadikan sasarannya. Wah, bisa lebih repot.
"Hu..., kalau kecopetan di bis itu mah sudah biasa," kata ibu pemilik warung nasi di Kompleks Gedung Dewan Pers menanggapi ceritaku. "Memang banyak copet bang. Pokoknya, kalau naik bis, jangan di dekat pintu. Lebih baik ke tengah saja. Di situ lebih aman," saran Sahuri, seorang pekerja di LPDS. Para copet, menurutnya biasa berpakaian rapi sehingga tidak mencurigakan.
Sahuri berkesimpulan, pencopet itu tahu kalau aku adalah pendatang yang masih baru di Jakarta. "Makanya, lain kali jangan celingak-celinguk sehingga nampak kalau masih baru di Jakarta. Pokoknya pasang tampang yakin aja," sarannya.
Mungkin Sahuri benar. Mungkin pula ketika aku bertanya kepada kernet mengenai jalan, si pencopet ada di sampingku. Dia jadi tahu kalau aku "orang baru". Apalagi aku juga celingak-celinguk melihat jalan. "Lebih baik hp dan dompet dimasukkan ke dalam tas aja, lebih aman," saran Caesar, Wartawan Kompas yang ikut menjadi peserta LPDS menimpali. Menurut Caesar, di Jakarta ini, kalau tak hati-hati, bisa tiga kali kecopetan dalam waktu setahun.
Suryadi, rekan peserta kursus lain pun ikut menghiburku. Dia juga menceritakan sebuah pengalaman yang dialaminya sekeluarga. "Istri saya juga pernah kecopetan waktu naik bis. Gaji bulanan yang baru diterimanya amblas. Padahal uang gaji itu disimpan di dalam tas. Copet di sini emang lihay-lihay," kenangnya.
Rabu, 27 Februari 2008
Jakarta Kejam, Aku Kecopetan
Label:
Sebuah Tragedi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar