"Tidak boleh mencampuradukkan fakta dengan opini dalam sebuah karya jurnalistik, itu sudah kuno," kata Atmakusumah Astraatmadja, empu dunia jurnalistik ketika mengajar dalam Kursus Jurnalistik Intensif IV di Lembaga Pers Dokter Sutomo (LPDS) Jakarta, beberapa hari lalu. Kami, para peserta terperangah mendengarnya. Ucapan pria peraih penghargaan Ramon Magsaysay tahun 2000 itu sangat kontroversial.
Selama ini, opini selalu menjadi barang "haram" dalam karya jurnalistik. Tak heran jika para senior-senior dan beberapa buku yang mengupas bidang kewartawanan selalu mewanti-wanti tentang hal itu. Doktrin tersebut sudah tertanam dalam benak sebagian besar wartawan, termasuk aku sendiri.
Menurut Atmakusumah, dalam perkembangannya, telah terjadi banyak pergeseran dalam bidang jurnalistik. Pelopor jurnalistik investigatif itu juga menyebutkan, saat ini pembaca semakin manja. Pembaca tidak senang jika berita hanya mengutip pernyataan-pernyataan. Mereka juga malas mencerna dan menyimpulkan sendiri. Penulis jadi dituntut untuk memberikan interpretasinya. Karena itu, dalam jurnalistik gaya baru, seringkali fakta telah bercampur dengan opini penulis. "Dalam new journalism, opini itu boleh. Yang tidak boleh itu kalau kita menghakimi," katanya.
Masmimar Mangiang, seorang pengajar lain juga menyatakan hal yang sama. Menurut Mangiang, dalam jurnalistik gaya baru, opini tak terhindarkan. Dalam perkembangan jurnalistik, berita dan feature semakin sulit dibedakan. Ketika pembangunan semakin maju, ada yang disebut dengan nama jurnalisme pembangunan (muncul sejak 1968). Bentuknya rata-rata berupa news feature. Tulisan dalam bentuk ini lebih banyak menjelaskan tentang suatu persoalan. Lebih banyak berkutat pada jawaban dari pertanyaan why dan how.
News feature menurutnya bersifat intrepretative dan bertujuan membantu pembaca membuat penafsiran untuk topik yang ditulis. Tetapi, terkadang ada news feature yang bersifat analitik. Dalam perkembangan jurnalistik cetak mutakhir, news feature cenderung berisikan komentar dan bahkan menunjukkan pendapat penulis.
"Walau dalam perkembangan jurnalisme mutakhir hal itu dibenarkan, penulis tetap tidak boleh mengambil kesimpulan yang bersifat tergesa-gesa, dan tidak boleh mengambil kesimpulan yang bersifat mem-vonis," jelasnya. Setiap pernyataan yang menonjolkan subjektivitas secara eksplisit harus disertai dukungan fakta atau data.
Meski opini dibenarkan, jurnalis harus tetap jujur dalam melihat fakta dan menyajikannya apa adanya. Jangan menyembunyikan fakta yang seharusnya diketahui publik dan jangan mendramatisasi suatu persoalan atau kejadian lebih dari fakta. "Selain dari itu, boleh-boleh saja," ujar dia. Ada kiat yang menurutnya dapat mencegah jurnalis terperosok ke dalam opini yang bersifat mem-vonis yakni dengan cara menghindari penggunaan kata sifat. Katakanlah sesuatu itu indah tetapi tanpa menggunakan kata "indah". Selain itu, untuk menunjukkan pendapatnya dalam tulisan, tanpa ada kesan mem-vonis, jurnalis bisa bersembunyi di balik kata "mungkin".(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar